Selasa, 05 April 2011

KONSERVASI ARSITEKTUR

Penyelamatan suatu obyek konservasi adalah bentuk apreasiasi pada perjalanan sejarah bangsa, pendidikan dan pembangunan wawasan intelektual bangsa antar generasi. Konservasi suatu bangunan kolonial tidak diartikan suatu cara mengenang kolonialisme dan ketidakberdayaan bangsa tetapi menjadi ” tantangan ” untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan mengisi karya yang lebih baik. Pelestarian suatu arsitektur kolonial adalah mengingatkan kegetiran serta meningkatkan harga diri bangsa untuk tetap merdeka. Keberadaan bangunan bersejarah memiliki signifikasi pembentukan kolektif memori serta membangun kesinambungan sejarah yang merupakan dasar terbentuknya makna sebuah lingkungan. Dengan demikian sangat keliru bilamana suatu program pelestarian hanya ditujukan untuk tujuan estetika atau romantisme masa lalu belaka.



Konservasi

Konservasi secara umum diartikan pelestarian namun demikian dalam khasanah para pakar konservasi ternyata memiliki serangkaian pengertian yang berbeda-beda implikasinya. Menurut Adishakti (2007) istilah konservasi yang biasa digunakan para arsitek mengacu pada Piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981 yaitu : Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance, Burra, Australia. Piagam ini lebih dikenal dengan Burra Charter

Dalam Burra Charter konsep konservasi adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang telah dirumuskan dalam piagam tersebut. Konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik. Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas lebih spesifik yaitu pemeliharaan morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya. Kegiatan konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut. Bila dikaitkan dengan kawasan maka konservasi kawasan atau sub bagian kota mencakup suatu upaya pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial atau pemanfaatan yang tidak sesuai dan bukan secara fisik saja.

Kegiatan konservasi antara lain bisa berbentuk (a) preservasi, (b) restorasi, (c) replikasi, (d) rekonstruksi, (e) revitalisasi dan/atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu, (f) rehabilitasi. Aktivitas tersebut tergantung dengan kondisi, persoalan, dan kemungkinan yang dapat dikembangkan dalam upaya pemeliharaan lebih lanjut. Masyarakat awam sering keliru bahwa pelestarian bangunan bersejarah diarahkan menjadi ded monument (monumen statis) tetapi sebenarnya bisa dikembangkan menjadi life monument yang bermanfaat fungsional bagi generasi masa sekarang.

Suatu program konservasi sedapat mungkin tidak hanya dipertahankan keasliannya dan perawatannya namun tidak mendatangkan nilai ekonomi atau manfaat lain bagi pemilik atau masyarakat luas. Konsep pelestarian yang dinamik tidak hanya mendapatkan tujuan pemeliharaan bangunan tercapai namun dapat menghasilkan pendapatan dan keuntungan lain bagi pemakainya. Dalam hal ini peran arsitek sangat penting dalam menentukan fungsi yang sesuai karena tidak semua fungsi dapat dimasukkan. Kegiatan yang dilakukan ini membutuhkan upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta berkelanjutan. Dan pelestarian merupakan pula upaya untuk menciptakan pusaka budaya masa mendatang (future heritage), seperti kata sejarawan bahwa sejarah adalah masa depan bangsa. Masa kini dan masa depan adalah masa lalu generasi berikutnya.



Perluasan Tindakan Konservasi

Istilah-istilah lain :

1. Restorasi (dalam konteks yang lebih luas) ialah kegiatan mengembalikan bentukan fisik suatu tempat kepada kondisi sebelumnya dengan menghilangkan tambahan-tambahan atau merakit kembali komponens eksisting tnap menggunakan material baru.

2. Restorasi (dalam konteks terbatas) iala kegiatan pemugaran untuk mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref.UNESCO.PP. 36/2005).

3. Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu temapt dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan.

4. Preservasi (dalam konteks yang terbatas) ialah bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya agar keandalan kelaikan fungsinya terjaga baik (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).

5. Konservasi ( dalam konteks yang luas) ialah semua proses pengelolaan suatu tempat hingga terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena kondisinya) termasuk tindakan preservasi, restorasi, rekonstruksi, konsoilidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut.

6. Konservasi (dalam konteks terbatas) dari bangunan dan lingkungan ialah upaya perbaikan dalam rangka pemugaran yang menitikberatkan pada pembersihan dan pengawasan bahan yang digunakan sebagai kontsruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).

7. Rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki sekaurat mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karenasalah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut laik fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).

8. Konsolidasi ialah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan memperkuat, memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis banguna terpenuhi dan bangunan tetap laik fungsi. Konsolidasi bangunan dapat juga disebut dengan istilah stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak atau melemah bersifat membahayakan terhadap kekuatan struktur.

9. Revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya aset-aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005, Ditjen PU-Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan).

10. Pemugaran adalah kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan struktur yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, histories dan teknis. (Ref. PP.36/2005). Kegiatan pemulihan arsietktur bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang disamping perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya secara fungsional yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan.

Dari beberapa pengertian mengenai konservasi maka seharusnya memungkinkan fungsi bangunan lama untuk dimanfaatkan untuk kegiatan baru yang lebih relevan selain memungkinkan pula pengalihan kegiatan lama oleh aktivitas baru tanpa harus menghancurkannya. Persoalan pelestarian bangunan tidak saja memfokuskan pada arsitektur saja, tetapi secara kritis harus tanggap terhadap persoalan sosial ekonomi budaya lingkungan tersebut.

Klasifikasi Bangunan Cagar Budaya

Suatu bangunan dapat dikatakan sebagai bangunan konservasi atau cagar budaya sehingga dikenai aturan untuk melestarikannya mengacu pada kriteria yang telah ditentukan. Pasca monumen ordonansi yang dijadikan keketapan hukum pada jaman pemerintahan Hindia Belanda maka pemerintah Republik Indonesia membuat Undang Undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dalam UU no 5 tersebut dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah : (dalam Bab 1 pasal 1) yaitu : (1) Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; (2) Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Adapun ” situs” adalah lokasi atau lingkungan yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Dalam bab 1 pasal 2 menyebutkan sebagai berikut bahwa perlindungan benda cagar budaya dan situs (lingkungannya) untuk bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.

Dalam Bab 2 Pasal 2 menyebutkan bahwa : (10 Semua benda cagar budaya dikuasai oleh Negara, (2) Penguasaan benda cagar budaya meliputi benda cagar budaya yang terdapat di wilayah hukum RI. Hal ini menjelaskan bahwa benda cagar budaya tidak bisa dikatakan sebagai barang pribadi.

Dalam Bab 8 Pasal 26 menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs dan lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan atau warna, memugar atau memisahkan benda cagar budaya tanpa ijin dari pemerintah dapat dipidana dengan pidana penjara selama lamanya 10 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 100 juta.

Pasal 27 menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja melakukan pencarian benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara menggali, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lain tanpa ijin pemerintah dapat dipidana dengan pidana penjara selama 5 tahun dan atau denda setingginya 50 juta.

Namun realitasnya pemerintah atau masyarakat sendiri mengalami kesulitan dalam melakukan konservasi karena berbagai keterbatasan. Pertama, keterbatasan pengetahuan dan wawasan mengenai konservasi. Tidak sedit benda cagar budaya yang rusak disebabkan adanya niat baik tanpa dukungan pengetahuan memadai. Tindakan yang ditujukan untuk memperbaiki atau mengembangkan fungsinya malah dianggap merusak keaslian. Hal ini bisa diatasi dengan konsultasi pada pihak-pihak yang berkompeten. Keberadaan lembaga nirlaba yang memberikan konsultasi sangat membantu dan diharapkan supaya masyarakat tidak merasa ” kesulitan ” untuk memelihara barangnya sendiri. Kedua, keterbatasan dana dalam pelestarian yang biasanya harus mengeluarkan biaya ekstra dan lebih besar dibandingkan dengan membangun biasa. Akibatnya pemilik merasa kerepotan sendiri mengurusi benda cagar budaya dan kemudian membiarkan rusak agar bisa dibongkar nantinya. Hal ini lazim terjadi sebagai alasan agar mereka tidak terkena kewajiban melestarikannya. Ketiga, masalah regulasi dalam pelestarian yang sering bersifat mengambang yang menyebabkan tidak ada rekomendasi praktis yang bisa dikerjakan. Bila hal tersebut terjadi berlarut larut tanpa suatu penyelesaian akan berakibat fatal.

Adapun kriteria obyek atau benda atau lingkungan atau kawasan sebagai bagian dari kota yang yang harus dilestarikan sebagai berikut :

a. Menurut National Register of Historic Places, National Park Service US Departement of Interior dan :

1. Obyek yang berkaitan dengan suatu momentum atau peristiwa signifikan baik dari kesejarahan dan kebudayaan yang menandai perjalanan suatu bangsa. Gedung Sumpah Pemuda, Istana Negara atau Katedral Jakarta. Bisa jadi bangunan tersebut adalah lambang kejayaan kolonialisme pada masa lalu namun dalam pengertian edukasi pada masa sekarang adalah suatu hasil yang bisa direbut kemerdekaan. Seandainya belum merdeka tentu obyek tersebut berfungsi lain.

2. Kaitan dengan kehidupan tokoh atau komunitas yang cukup penting dalam sejarah dan kebudayaan. Misal rumah Muhammad Husni Thamrin adalah seorang Betawi anggota Volskraad yang vokal menyuarakan kesejahteraan rakyat dilestarikan. Keberadaan rumah-rumah Betawi di Condet yang menunjukkan bahwa pada masa itu merupakan lingkungan Betawi.

3. Obyek adalh wujud atau representasi dari suatu karakter, karya, gaya, langgam, tipe, periode, teknologi, metode pembangunan yang memiliki nilai artistik tinggi.



Kategori Obyek konservasi sebagai berikut :

1. Obyek keagamaan berupa peninggalan arsitektur atau karya yang bernilai keagamaan.

2. Bangunan atau bentuk struktur yang telah dipindahkan dari lokasi eksisting yang memiliki nilai signufican dalam arsitektur atau bentuk struktur yang masih bertahan terkait dalam peristiwa sejarah tokoh tertentu.

3. Rumah, kantor atau ruang aktivitas atau makam tokoh terkenal dalam sejarah, dengan catatan tidak ada tempat atau bangunan lain yang terkait dengan riwayat hidupnya.

4. Bangunan pada masa tertentu yang memiliki keunikan desain, gaya atau berkaitan dengan peristiwa sejarah tertentu.

5. Bangunan hasil rekonstruksi an merupakan satu-satunya bangunan yang dapat diselamatkan.

6. Obyek berusia 50 tahun yang memberi nilai yang cukup significan atau pengecualian yang dianggap penting.



Mengacu pada aturan yang dikeluarkan oleh Department of the Environment Circulars 23/77 The secretary of state for wales menyebutkan sebagai berikut :

1. Semua bangunan yang didirikan sebelum tahun 1700 yang masih bertahan sesuai dengan kondisi aslinya

2. Kebanyakan bangunan dari tahun 1700 – 1914 hanya bangunan yang mempunyai kualitas dan karakter khusus saja, selesksi didasarkan juga pada prinsip membangun arsitek tertentu

3. Pemilihan bangunan didasarkan pada : (1) Special value, (berdasarkan type arsitektural atau gambar kehidupan social ekonomi masa tertentu, contohnya : Bangunan industry, stasiun, sekolah RS, balai kota), (2) Hasil aplikasi perkembangan teknologi (contoh bangunan struktur baja, atau awal penggunaan beton), (3) Berkaitan sengan sejarah atau tokoh tertentu, (4) Group value (contoh hasil perencanaan kota) misalnya bangunan kota pada tahun 1914-1939 adalah dari jenis –jenis bangunan yang mewakili hasil arsitektur periodenya.



4. Pengembangan jenis bangunan adalah sebagai berikut : (a) Jenis langgam bangunan : Modern, Klasik, Vernaculer, (b) Jenis fungsi bangunan: Bangunan Peribadatan, Bangunan Rekreasi Publik, Bangunan perkantoran dan komersial, Bangunan pendidikan, Bangunan perumahan, Bangunan pelayanan publik,Bangunan transportasi, (c) Bangunan yang mewakili karya arsitek tertentu tiap periode



Menurut Methodology Used to Rank Building in San Francisco’s Downtown Survey, dibagi dalam 4 kriteria :

1. Architecture

· Style/type, contoh penting dalam jenis, langgam atau tradisi

· Construction, contoh penting dalam penggunaan bahan atau system konstruksi

· Age, contoh penting yang berkaitan dengan periode pembangunan

· Design, kualitas desain yang unik dan orisinal

· Interior, kualitas desain yang unik dan aktraktif

2. History

* Person, berkaitan dengan kegiatan pelaku sejarah
* Event, berkaitan dengan peristiwa sejarah
* Patterns, berkaitan dengan kondisi social, budaya dan politik

3. Enviroment meliputi : Continuity, Setting dan Landmark

4. Integrity

Alterations, terdapat perubahan kecil yang tidak mengubah keseluruhan desain dan material yang digunakan.



Menurut Bernard M Feilden (1982) sebagai berikut :

1. Membangkitkan rasa kekaguman dan keingn tahuan yang berlebih, terutama pada masyarkat yang membangunnya – merupakan symbol “cultural identity” atau warisan budaya

2. Bertahan selama +- 100 tahun walaupun tidak digunakan



Menurut Alan Dolby (1978):

1. Produk karya seni – hasil nyata dari pemikiran yang kreatif

2. Bangunan yang merupakan bagian dari mata rantai perkembangan arsitektur

3. Salah satu contoh hasil perkembangan teknologi

4. Salah satu contoh dari aspek sosiolegi yaitu ncara hidup suatu zaman

5. Bangunan yang berkaitan erat dengan suatu masyarakat atau peristiwa sejarah



Menurut Cor Passchier (2003) adalah kriteria objek yang berkaitan antara lain :

1. Nilai arsitektur, contoh penting suatu langgam arsitektur atau rancangan arsitek terkenal atau obyek memiliki nilai estetika yang berlandaskan pada kualitas bentuk dan detail interior eksterior atau merupakan contoh unik dan mewakili suatu periodesasi sebuah langgam,

2. Kriteria fungsi obyek berkaitan dengan lingkungan kota yaitu kaitan obyek dengan bangunan lainnya atau “urban space”, sehingga menentukan karakteristik dan kualitas arsitektur kota

3. Merupakan bagian dari kompleks bersejarah dan berharga untuk diletarikan

4. Merupakan landmark atau penanda “townlandscape”

5. Kriteria fungsi obyek berkaitan dengan lingkungan social budaya karena berkaitan dengan memori historis yang menjadi bukti bagian dari tahapan perkembangan kota, fungsi penting yang berkaitan dengan aspek fisik, emosional dan religi



Tabel

Klasifikasi Bangunan Cagar Budaya

BENDA

CAGAR BUDAYA







LINGK.


BANG.


KRITERIA


TOLOK UKUR

V


v


Nilai Sejarah


Terkait dengan peristiwa : perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi simbol kesejarahan tingkat nasional/propinsi DKI

V


v


Umur


Batas usia sekurang-kurangnya 50 tahun

V


v


Keaslian


Keutuhan, baik sarana dabn prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak lingkungan dan bangunan

V


v


Kelangkaan


Keberadaannya sebagai satu-satunya atau yang terlengkap dari jenisnya yang masih ada pada lingkungan lokal, nasional atau dunia




v


Tengeran/ Landmark


Keberadaan sebuah bangunan tunggal monumen atau bentang alam yang dijadikan simbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.




v


Arsitektur


Estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.







LINGKUNGAN


I


II


III

Kriteria










A. Nilai Sejarah


Lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria termasuk yang mengalami sedikit perubahan


Lingkungan yang memenuhi 3 kriteria, yang telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian


Lingkungan yang memenuhi 3 kriteria yang banyak mengalami banyak perubahan dan kurang memiliki keaslian

B. Umur

C. Keaslian

D. Kelangkaan











TABEL






A


B


C

BANGUNAN










Kriteria










A. Nilai Sejarah


V


v




B. Umur


V


v




C. Keaslian





v




D. Kelangkaan





v




E. Landmark





v




F. Arsitektur





v


v



Tabel

Perlakuan Pelestarian Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya

Berdasarkan Klasifikasi Perda DKI no. 9 Tahun 1999



OBYEK










LINGKUNGAN


I


II


III




Dipertahankan


Dimungkinkan Adaptif Reuse


Dimungkinkan Penyesuaian Terhadap Perencanaan Kota












BANGUNAN


A


B


C

Tampak Depan


V


V


v

Struktur Utama


V


V




Tata Ruang


V







Ornamen


V


















(Sumber : Ajeng R. Pitakasari & Prillia Verawati, 2007 dalam Selamatkan Warisan Budaya Bangsa , I-Arch, Architecture Magazine, Tenth Issue, 2007)



Penjelasan-penjelasan Para Pakar

Selain pandangan-pandangan baku dalam regulasi atau teks-teks yang terpublikasikan perlu juga memperhatikan pendapat para pakar atau pemerhati konservasi sebagai berikut di bawah ini :

1. Johannes Widodo dari National Unioversity of Singapore

Konservasi perlu melibatkan semua pihak secara menyeluruh dan sinergis. Upaya konservasi harus dievaluasi secara mendalam oleh berbagai pihak yang berkepentingan secara terbuka dan jujur. Jika memang harus dilakukan perbaikan siapa saja yang terlibat, dan bagaimana strategi pemeliharaannya \. Semua pihak harus kretaif dalam menemukan fungsi yang sesuai dengan bangunan tersebut, tetapi tetap memiliki nilai tinggi. Hal ini untuk menjaga kelangsungan dan kelestarian bangunan secara fungsi dan fisik sehingga bangunan tersebut bisa mencukupi kebutuhan pemeliharaan bagi dirinya sendiri.



2. Aurora Tambunan Kepala Dinas Permuseuman dan Kebudayaan menyatakan bahwa ” pelestarian bangunan warisan bangsa ” adalah tanggung jawab bersama. Bilaman pemilik bangunan (khusus bangunan pribadi) yang menghendaki bantuan dari pemerintah maka harus mengubah beberapa prosen luasnya untuk fungsi publik. Hal ini diharapkan agar mereka kelak mampu membiayai perawatan dan pelestarian bangunan tersebut.



3. Budi Lim pakar Jakarta Old Town Kotaku (JOK) –arsitek konservasi Gedung Arsip Nasional Jl Gajahmada Jakarta mengingatkan bahwa dalam melakukan konservasi seorang arsitek harus memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai nilai dan rasa setiap detil bangunan, terutama mengenai nilai-nilai sejarah dan arsitektural yang dikandung dalam bangunan tersebut. Budi Lim mengingatkan bahwa kesalahan yang biasa dilakukan para arsitek adalah mendesain bangunan atau kawasan dekat bangunan konservasi lalu diduplikasi dengan alasan untuk harmoni (keselarasan). Hal ini salah karena harmoni dalam hal tersebut lebih ditekannkan pada esensinya.

4. Laretna T. Adishakti (2007) mengatakan bahwa pelestarian/konservasi bukanlah romantisme masa lalu atau upaya untuk mengawetkan kawasan bersejarah, namun lebih ditujukan untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi kawasan tersebut. Upaya ini bertujuan pula untuk memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik berdasar kekuatan aset lama, dan melakukan pencangkokan program-program yang menarik dan kreatif, berkelanjutan, serta merencanakan program partisipasi dengan memperhitungkan estimasi ekonomi. Kesinambungan yang menerima perubahan dan/atau pembangunan merupakan konsep utama konservasi, suatu pengertian yang berbeda dengan preservasi. Hal ini bertujuan untuk tetap memelihara indentitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik (the total system of heritage conservation). Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun perubahan secara alami dan terseleksi (Adishakti, 1997). Dalam pelestarian objek yang dikelola tidak lagi bangunan individual atau kelompok bangunan namun area atau kota secara keseluruhan. Kedua, konservasi berarti “preserving purposefully: giving not merely continued existence but continued useful existence” (Burke, 1976). Jadi, fungsi seperti juga bentuk menjadi pertimbangan utama dan tujuannya bukan untuk mempertahankan pertumbuhan perkotaan, namun manajemen perubahan (Asworth, 1991).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar