Minggu, 28 Maret 2010

Perilaku Manusia Pada Ruang Terbuka Hijau

By adid ganda permana

Perilaku manusia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.

Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol sosial. Dalam kedokteran perilaku seseorang dan keluarganya dipelajari untuk mengidentifikasi faktor penyebab, pencetus atau yang memperberat timbulnya masalah kesehatan. Intervensi terhadap perilaku seringkali dilakukan dalam rangka penatalaksanaan yang holistik dan komprehensif.

Perilaku manusia dipelajari dalam ilmu psikologi, sosiologi, ekonomi, antropologi dan kedokteran

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia

  • Genetika
  • Sikap – adalah suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu.
  • Norma sosial – adalah pengaruh tekanan sosial.
  • Kontrol perilaku pribadi – adalah kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya melakukan suatu perilaku.
  • Ruang publik terbuka khususnya ruang terbuka hijau merupakan salah satu kebutuhan masyarakat perkotaan saat ini dan itu menjadi paru-paru kota. Di ruang publik terbuka itu, warga dapat bersosialisasi melalu berbagai kegiatan seperti olahraga, bercengkerama, rekreasi, diskusi, pameran/bazar, dan lainnya.Anak-anak mungkin bisa bermain dengan leluasa di bawah teduhnya pohon-pohon yang rimbun. Singkatnya,ini menjadi tempat rekreasi dan olahraga yang menyenangkan tanpa harus mengeluarkan biaya.
  • Di Jakarta, tepatnya di daerah Menteng masih memiliki banyak ruang terbuka publik terbuka misalnya taman bermain, taman kompleks ( perumahan ), dan taman rekreasi. Salah satu ruang terbuka hijau yang masih bertahan hingga saat ini ialah Taman Suropati. Taman ini merupakan salah satu taman yang sering didatangi oleh masyarakat baik pagi, siang, maupun malam hari. Taman ini sering dipadati masyarakat karena banyak orang mengatakan bahwa tempat ini asri, sejuk, dan tenang dibandingkan dengan ruang public tetutup lainnya sehingga orang senang datang ke sini untuk menikmati sejuknya tanaman yang ada di taman ini.
  • Jenis taman terbagi jadi 2 yaitu :

a. Taman aktif

Yang memiliki fungsi sebagai tempat bermain, dengan dilengkapi elemen-elemen pendukung taman bermain antara lain ayunan, petung, dan sebagainya.

b. Taman pasif

Taman ini hanya sebagai elemen estetis saja, sehingga kebanyakan untuk menjaga keindahan tanaman di dalam taman tersebut akan dipasang pagar di sepanjang sisi luar taman.

Tiga nilai utama yang seharusnya dimiliki oleh ruang public agar menjadi ruang publik yang baik ialah ;

a. Ruang yang responsive

Artinya ruang public didesain dan diatur untuk melayani kebutuhan pemakainya. Selain itu ruang public menjadi suatu tempat menemukan hal-hal baru akan dirinya atau orang lain. Pada ruang public masyarakat juga dapat menemukan ide-ide baru, sehingga dapat dikatakan sebagai tempat mencari inspirasi.

b. Ruang yang demokratis

Ruang public harus dapat melindungi hak-hak kelompok pemakainya. Ruang public dapat dipakai oleh semua kelompok dan memberikan kebebasan bertindak bagi pemakainya sehingga untuk sementara mereka dapat memiliki ruang public tersebut. Ini berarti pada suatu ruang public, seseorang dapat bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan tetapi tetap memperhatikan batasan ( norma ) yang berlaku sehingga tidak mengganggu kebebasan orang lain.

c. Ruang yang mempunyai arti atau makna

Ruang public harus dapat memberikan pemakainya berhubungan kuat dengan ruang public itu sendiri, kehidupan pribadinya, dan dunia yang lebih luas. Ruang public yang memberikan arti seperti ini akan membuat masyarakat selalu ingin berkunjung ke sana lagi.

Kualitas ruang public dapat ditinjau dari dua pokok segi yaitu segi fisik dan non fisik. Beberapa criteria yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas seara fisik, antara lain :

§ Ukuran

Ruang terbuka yang ada harus sesuai dengan keputusan serta standar penyediaan sarana yang ada. Contoh misalnya kebutuhan pedestrian ways yang baik ialah sekitar2,5 sampai 4 meter sehingga pejalan kaki merasa bebas bergerak.

§ Kelengkapan sarana elemen pedukung

Kelengkapan saranan pendukung dalam suatu ruang public sangat menentukan kualitas ruang tersebut. Beberapa kelengkapan pendukung dalam suatu ruang public khususnya taman misalnya tempat duduk, papan anjuran, tempat sampah, dan lampu jalan atau taman.

§ Desain

Desain dalam suatu ruang public akan menunjang fungsi serta aktivitas di dalamnya.

§ Kondisi

Kondisi suatu sarana lingkungan akan sangat menentukan terhadapa kualitas yang ada. Di mana dengan kondisi sarana yang baik akan menunjang kenyamanan, keamanan, dan kemudahan dalam menggunakan ruang public.

Sedangkan kualitas non fisik dapat dilihat melalui beberapa criteria, antara lain yaitu :

§ Kenyamanan ( comfort )

Yaitu ruang terbuka harus memiliki lingkungan yang nyaman serta terbebas dari gangguan aktifitas di sekitarnya.

§ Keamanan dan keselamatan ( safety and security )

Yaitu terjamin keamanan dan keselamatan dari berbagai gangguan ( aktifitas lalu-lintas, kriminalitas, dan lain-lain.

§ Kemudahan ( accessibility )

Yaitu kemudahan memperoleh pelayanan dan kemudahan akses transportasi untuk menuju ruang public tersebut.

Seni taman sebagai bagian dari Arsitektur ialah suatu bagian dari bidang seni yang berorientasi pada benda-benda hidup yang mempunyai evolusi yang tak henti-hentinya. Arsitektur Lansekap adalah perpaduan antara pengetahuan arsitektur dan perencanaan yang tidak hanya berbentuk gerombol penghijauan tapi juga meliputi pengerjaan konture, pembentukan kolam air, perencanaan jalan-jalan, menciptakan kerja antara benda hidup dan benda mati serta banyak lagi.

RUANG TERBUKA HIJAU

Contact: Mendai_get@ymail.com

Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan yang tipikal, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi sehingga menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat. Jumlah penduduk perkotaan yang tinggi dan terus meningkat dari waktu ke

waktu tersebut akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota,

sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus, terutama yang

terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang terbuka hijau

publik (open spaces) di perkotaan. Lingkungan perkotaan hanya berkembang secara ekonomi, namun

menurun secara ekologi. Padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya

dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan.

Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik tersebut, baik berupa ruang terbuka hijau

(RTH) dan ruang terbuka non-hijau, telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan

seperti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi udara dan meningkatnya kerawanan

sosial (kriminalitas, tawuran antar warga), serta menurunnya produktivitas masyarakat akibat stress dan

yang jelas berdampak kepada pengembangan wilayah kota tersebut.

Ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan ruang kota yang berfungsi

sebagai kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota,

kawasan hijau kegiatan olahraga kawasan hijau dan kawasan hijau pekarangan.Ruang terbuka hijau

adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun

dalam bentuk area memanjang/jalur. Pemanfatan ruang terbuka hijau lebih bersifat pengisian hijau

tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian,

pertamanan, perkebunan dan sebagainya.

Dalam konteks pembangunan wilayah perkotaan, pengembangan infrastruktur juga harus

mengedepankan aspek kelestarian lingkungan dan secara bersamaan memperhatikan aspek ekonomi,

sosial dan budaya yang ada. Sehingga pembangunan infrastruktur yang ada tidak memberikan dampak

negatif kepada lingkungan maupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Secara ekologis dan planologis,

RTH dapat berfungsi sebagai infrastruktur hijau yang turut membentuk ruang-ruang kota yang

harmonis untuk memenuhi kebutuhan ekologis dan keindahan kota maupun sebagai pembatas ruang

secara planologis.

Ruang Terbuka Hijau dapat meningkatkan stabilitas ekonomi masyarakat dengan cara menarik minat

wisatawan dan peluang-peluang bisnis lainnya, orang-orang akan menikmati kehidupan dan berbelanja

dengan waktu yang lebih lama di sepanjang jalur hijau, kantor-kantor dan apartemen di areal yang

berpohon akan disewakan serta banyak orang yang akan menginap dengan harga yang lebih tinggi dan

1 biropembangunan.acehprov.go.id

jangka waktu yang lama, kegiatan dilakukan pada perkantoran yang mempunyai banyak pepohonan

akan memberikan produktifitas yang tinggi kepada para pekerja (Forest Service Publications, 2003.

Trees Increase Economic Stability, 2003).

Ruang terbuka hijau, mempunyai mamfaat keseimbangan alam terhadap struktur kota. Ruang terbuka

hijau janganlah dianggap sebagai lahan yang tidak efisien, atau tanah cadangan untuk pembangunan

kota, atau sekedar program keindahan. Ruang terbuka hijau mempunyai tujuan dan mamfaat yang besar

bagi keseimbangan, kelangsungan, kesehatan, kenyamanan, kelestarian, dan peningkatan kualitas

lingkungan itu sendiri (Hakim dan Utomo, 2004 ).

Pembangunan ruang-ruang terbuka hijau kota sebagai ruang interaksi warga kota berupa alun-alun,

taman kota, taman lingkungan, dan lapangan sepak bola yang dapat difungsikan untuk menampung

kegiatan penyelamatan saat terjadi gempa bumi, untuk sholat berjamaah, latihan manasik haji, perayaan

Israj Miraj, Maulid Nabi, festival seni budaya Aceh, dll. Taman-taman kota akan menyediakan ruangruang

sunyi, tempat warga kota khususnya yang lanjut usia untuk merenung, berdoa dan berdzikir..

Taman makam menjadi bagian keindahan kehidupan kota dan tempat wisata ziarah spiritual dan

religius. Taman Memorial Tsunami: Situs-situs cagar tsunami akan dirancang untuk menjadi lokasi

yang sesuai bagi warga kota untuk berziarah, memahami pengertian tsunami lebih baik, menjadi pintu

untuk memuliakan Allah SWT, mengagumi karyaNYA, dan bersukur atas nikmat yang diterimanya.

Pohon adalah simbol kehidupan. Penanaman pohon-pohon besar peneduh jalan dan taman secara

teratur memberikan keteduhan kota dan jiwa warga kota ( PP RI No 30, 2005 ).

Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah

perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung

manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu

keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot

kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi :

(a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan

(b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga,

pemakaman, )

Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi

a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan

b) bentuk RTH jalur (koridor, linear),

Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi

a) RTH kawasan perdagangan,

b) RTH kawasan perindustrian,

c) RTH kawasan permukiman,

d) RTH kawasan pertanian,

e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah.

Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi

a) RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh

2 biropembangunan.acehprov.go.id

pemerintah (pusat, daerah), dan

b) RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat.

  • Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan yang rusak

adalah dengan pembangunan ruang terbuka hijau kota yang mampu memperbaiki keseimbangan

ekosistem kota. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara membangun ruang terbuka hijau yang memiliki

beranekaragam manfaat. Manfaat ruang terbuka hijau diantaranya adalah sebagai berikut :

o Identitas Kota

Jenis tanaman dapat dijadikan simbol atau lambang suatu kota yang dapat dikoleksi pada areal RTH.

Propinsi Sumatra Barat misalnya, flora yang dikembangkan untuk tujuan tersebut di atas adalah Enau

(Arenga pinnata) dengan alasan pohon tersebut serba guna dan istilah pagar-ruyung menyiratkan

makna pagar enau. Jenis pilihan lainnya adalah kayu manis (Cinnamomum burmanii), karena

potensinya besar dan banyak diekspor dari daerah ini (Fandeli, 2004).

o Nilai Estetika

Komposisi vegetasi dengan strata yang bervariasi di lingkungan kota akan menambah nilai keindahan

kota tersebut. Bentuk tajuk yang bervariasi dengan penempatan (pengaturan tata ruang) yang sesuai

akan memberi kesan keindahan tersendiri. Tajuk pohon juga berfungsi untuk memberi kesan lembut

pada bangunan di perkotaan yang cenderung bersifat kaku. Suatu studi yang dilakukan atas keberadaan

RTH terhadap nilai estetika adalah bahwa masyarakat bersedia untuk membayar keberadaan RTH

karena memberikan rasa keindahan dan kenyamanan (Tyrväinen, 1998).

o Penyerap Karbondioksida (CO2)

RTH merupakan penyerap gas karbon dioksida yang cukup penting, selain dari fito-plankton, ganggang

dan rumput laut di samudera. Dengan berkurangnya kemampuan hutan dalam menyerap gas ini sebagai

akibat menyusutnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun

RTH untuk membantu mengatasi penurunan fungsi RTH tersebut. Jenis tanaman yang baik sebagai

penyerap gas Karbondioksida (CO2) dan penghasil oksigen adalah damar (Agathis alba), daun kupukupu

(Bauhinia purpurea), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis), dan

beringin (Ficus benjamina). Penyerapan karbon dioksida oleh RTH dengan jumlah 10.000 pohon

berumur 16-20 tahun mampu mengurangi karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun (Simpson and

McPherson, 1999).

o Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan mengurangi tingkat erosi,

menurunkan aliran permukaan dan mempertahankan kondisi air tanah. Pada musim hujan laju aliran

permukaan dapat dikendalikan oleh penutupan vegetasi yang rapat, sedangkan pada musim kemarau

3 biropembangunan.acehprov.go.id

potensi air tanah yang tersedia bisa memberikan manfaat bagi kehidupan di perkotaan. RTH dengan

luas minimal setengah hektar mampu menahan aliran permukaan akibat hujan dan meresapkan air ke

dalam tanah sejumlah 10.219 m3 setiap tahun (Urban Forest Research, 2002).

o Penahan Angin

RTH berfungsi sebagai penahan angin yang mampu mengurangi kecepatan angin 75 – 80 % ( Hakim

dan utomo, 2004 ). Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain RTH untuk menahan

angin adalah sebagai berikut :

  • · Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman yang memiliki dahan yang kuat.

a. Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan kecepatan sedang

b. Memiliki jenis perakaran dalam.

c. Memiliki kerapatan yang cukup (50 – 60 %).

d. Tinggi dan lebar jalur hutan kota cukup besar, sehingga dapat melindungi wilayah yang

diinginkan.

  • · Penanaman pohon yang selalu hijau sepanjang tahun berguna sebagai penahan angin pada

musim dingin, sehingga pada akhirnya dapat menghemat energi sampai dengan 50 persen

energi yang digunakan untuk penghangat ruangan pada pemakaian sebuah rumah. Pada musim

panas pohon-pohon akan menahan sinar matahari dan memberikan kesejukan di dalam ruangan

(Forest Service Publications. Trees save energy, 2003).

o Ameliorasi Iklim

RTH dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan untuk menurunkan suhu pada waktu siang

hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi

balik (reradiasi) dari bumi. Jumlah pantulan radiasi matahari suatu RTH sangat dipengaruhi oleh

panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar matahari, keadaan

cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman daripada daerah yang tidak

ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim mikro lain yang diatur oleh RTH adalah kelembaban.

Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island) akibat pantulan

panas matahari yang berasal dari gedung-gedung, aspal dan baja. Daerah ini akan menghasilkan suhu

udara 3-10 derajat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Penanaman pohon pada suatu

areal akan mengurangi temperature atmosfer pada wilayah yang panas tersebut (Forest Service

Publications, 2003. Trees Modify Local Climate, 2003).

o Habitat Hidupan Liar

RTH bisa berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hidupan liar dengan keanekaragaman hayati yang

cukup tinggi. Hutan kota dapat menciptakan lingkungan alami dan keanekaragaman tumbuhan dapat

menciptakan ekosistem lokal yang akan menyediakan tempat dan makanan untuk burung dan binatang

lainnya (Forest Service Publications, 2003. Trees Reduce Noise Pollution and Create Wildlife and

Plant Diversity, 2003).

4 biropembangunan.acehprov.go.id

  • Ruang Terbuka Hijau Sebagai Acuan Perencanaan Tata Ruang.

Pada dasarnya, penataan ruang bertujuan agar pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan,

pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budi daya dapat terlaksana, dan pemanfaatan

ruang yang berkualitas dapat tercapai. Upaya penataan ruang juga dilakukan untuk menciptakan

pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya.

Pengembangan tata ruang ditujukan untuk memberikan hasil yang sebesar besarnya dan bermanfaat

bagi kesejahteraan masyarakat, pendekatan yang akan dikembangkan mencakup dua hal :

¨ Pengaturan pemanfaatan ruang yang adil untuk masyarakat

¨ Memelihara kualitas ruang agar lestari dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya.

Di dalam Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 pasal 29 ayat (2) dijelaskan bahwa

proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem

kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikrolimat, maupun sistem ekologis lain, yang

selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus

dapat meningkatkan nilai estitika kota. Untuk lebih meningkatkan fungsi dan proporsi ruang terbuka

hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan swasta didorong untuk menanam tumbuhan di atas

bangunan gedung miliknya.

Tujuan perencanaan tata ruang wilayah kota adalah mewujudkan rencana tata ruang kota yang

berkualitas, serasi dan optimal, sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan daerah serta sesuai dengan

kebutuhan pembangunan dan kemampuan daya dukung lingkungan. Fungsi rencana tata ruang wilayah

kota adalah:

1. Sebagai penjabaran dari rencana tata ruang provinsi dan kebijakan regional tata ruang lainnya.

2. Sebagai matra ruang dari pembangunan daerah.

3. Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah kota.

4. Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkembangan antar wilayah kota dan antar

kawasan serta keserasian antar sektor.

5. Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan swasta.

6. Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan.

7. Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang

8. Sebagai dasar pemberian izin lokasi pembangunan skala besar.

Lebih jauh, rencana tata ruang kota dipergunakan sebagai acuan dalam penyusunan maupun

pelaksanaan program pembangunan di wilayah kota yang bersangkutan:

• Bagi departemen/instansi pusat dan pemerintah provinsi, digunakan dalam penyusunan

program-program dan proyek-proyek pembangunan lima tahunan dan tahunan secara

terkoordinasi dan terintegrasi.

• Bagi pemerintah kota, digunakan dalam penyusunan program-program dan proyek-proyek

pembangunan lima tahunan dan tahunan di wilayah kota yang bersangkutan.

5 biropembangunan.acehprov.go.id

• Bagi pemerintah kota dalam penetapan investasi yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat dan

swasta, digunakan sebagai acuan dalam perijinan pemanfaatan ruang serta pelaksanaan kegiatan

pembangunan di wilayah kota.

Materi dalam rencana tata ruang kota memuat 4 (empat) bagian utama yaitu:

Tujuan pemanfaatan ruang wilayah kota, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

pertahanan kemanan, yang meliputi:

a. Tujuan pemanfaatan ruang

b. Konsep pembangunan tata ruang kota

c. Strategi pembangunan tata ruang kota

Rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kota, yang meliputi:

a. Rencana struktur tata ruang, yang berfungsi memberi arahan kerangka pengembangan wilayah,

yaitu:

- Rencana sistem kegiatan pembangunan

- Rencana sistem permukiman perdesaan dan perkotaan

- Rencana sistem prasarana wilayah

b. Rencana pola pemanfaatan ruang, yang ditujukan sebagai penyebaran kegiatan budidaya dan

perlindungan.

Rencana umum tata ruang wilayah, meliputi:

a. Rencana pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya.

b. Rencana pengelolaan kawasan perkotaan, perdesaan dan kawasan tertentu.

c. Rencana pembangunan kawasan yang diprioritaskan.

d. Rencana pengaturan penguasaan dan pemanfaatan serta penggunaan ruang wilayah.

  • Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota

Pengendalian merupakan upaya-upaya pengawasan, pelaporan, evaluasi dan penertiban terhadap

pengelolaan, penanganan dan intervensi sebagai implementasi dari strategi pengembangan tata ruang

dan penatagunaan sumber daya alam, agar kegiatan pembangunan yang memanfaatkan ruang sesuai

dengan perwujudan rencana tata ruang kota yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rencana tata ruang merupakan suatu rencana yang mengikat semua

pihak, yang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah perencanaan. Rencana tata ruang

dengan demikian merupakan keputusan publik yang mengatur alokasi ruang, dimana masyarakat,

swasta dan pemerintah perlu mengacunya. Oleh karena itu, suatu rencana tata ruang akan dimanfaatkan

untuk diwujudkan apabila dalam perencanaannya sesuai dan tidak bertentangan dengan kehendak

seluruh pemanfaatnya serta karakteristik dan kondisi wilayah perencanaannya, sehingga dapat

digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang bagi para pemanfaatnya.

6 biropembangunan.acehprov.go.id

Pendekatan Psikologi Arsitektur dalam Perancangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota-Kota Multikultural

23012010

(Diformat ulang dari Makalah untuk Seminar Nasional UUPR Jurusan PWK Universitas Brawijaya Malang, 29 April 2009)

Yulia Eka Putrie & Nunik Junara

Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang dan kurangnya rasa memiliki dari masyarakat pendatang terhadap kota tersebut. Citra kota pun terdegradasi akibat kenyataan ini. Karenanya, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural. Dengan pendekatan psikologi arsitektur, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah. Pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Masyarakat pendatang berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya pada RTH yang disediakan. Seluruh penduduk pun dapat menyaksikan bahwa para pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota. Taman-taman itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Dengan demikian, citra kota punmeningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.

Pendahuluan

Perkembangan setiap kota, sejak awal peradaban manusia hingga abad-abad terakhir, selalu diwarnai oleh pergerakan dan interaksi penduduknya dengan penduduk kota lainnya. Pergerakan dan interaksi ini dapat hanya berupa pergerakan sementara, namun dapat pula berupa perpindahan (migrasi) penduduk dari satu kota ke kota lain. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, seiring dengan berkembangnya kebutuhan dan keinginan manusia di dalam setiap peradaban. Suatu kota yang pada awalnya secara kuantitas didominasi oleh etnis tertentu, dapat menjadi kota multikultural karena banyaknya pendatang dari berbagai daerah yang menetap di kota itu. Beberapa kota di Indonesia yang dapat dijadikan contoh kota multikultural ini adalah Jakarta, Surabaya, Palembang, Samarinda, Yogyakarta, Malang, Makassar dan Balikpapan.

Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural inilah, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang. Meningkatnya jumlah pendatang seringkali tidak terprediksi sebelumnya oleh pemerintah kota yang bersangkutan. Hal ini mengakibatkan daya tampung kota yang terbatas terpaksa diperbesar dengan membuka daerah-daerah baru di sekeliling kota, yang sebenarnya merupakan daerah penyangga ekosistem kota dari bahaya banjir, peningkatan suhu dan polusi. Besarnya tekanan ekonomi akibat persaingan warga kota dengan pendatang juga kerap menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan ini diabaikan. Pusat kota kian padat dengan aktivitas ekonomi, sehingga fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada pun diselewengkan menjadi tempat transaksi jual-beli dilakukan. Tingginya laju pertumbuhan penduduk pada berbagai kawasan menyebabkan munculnya masalah umum yang menyertai pertumbuhan perkotaan yang amat cepat, seperti pengangguran, perumahan yang tak layak huni, kebakaran, menularnya penyakit, sanitasi yang buruk, drainase yang tersumbat, pencemaran air dan udara, sampah yang menumpuk, kerusakan lingkungan, sistem transportasi yang tidak manusiawi, dan sebagainya (Dyayadi, 2008).

Di balik fenomena-fenomena fisik yang dipaparkan di atas, ternyata terdapat pula banyak faktor nonfisik, di antaranya faktor psikologis, yang menyebabkan permasalahan lingkungan hidup di kota multikultural kian kompleks. Permasalahan yang tidak kasat mata, seperti kurangnya rasa memiliki oleh warga pendatang akan kota yang mereka tinggali, merupakan salah satu faktor utama bertambah parahnya permasalahan lingkungan hidup ini. Asas untung-rugi ekonomi yang sering dijadikan pertimbangan seseorang untuk menetap di suatu daerah menjadikan tidak terciptanya ikatan emosional mereka dengan kota itu, dibandingkan dengan ikatan emosional mereka dengan kota asal atau kota kelahiran mereka.

Lebih jauh, kesalahan dalam penanganan masalah-masalah nonfisik ini dapat meniadakan hubungan emosional antara para penduduk pendatang dengan kota yang mereka tinggali. Penanganan yang refresif seringkali tidak menghasilkan perbaikan pada tataran pemikiran. Kecenderungan manusia untuk bertindak defensif ketika diperlakukan secara represif telah banyak diperlihatkan di berbagai belahan dunia. Dyayadi dalam bukunya, “Tata Kota menurut Islam”, menyatakan pula bahwa upaya mengatasi urbanisasi dengan pendekatan konvensional hanya melahirkan kegagalan, karena birokrasi tidak mampu memahami kebutuhan, motif dan ketegaran kaum migran (Dyayadi, 2008). Pada akhirnya, perbaikan pada tataran fisik pun tidak dapat bertahan lama, karena tidak dibarengi perbaikan pada tataran pemikiran dan cara pandang.

Secara keseluruhan, seluruh permasalahan lingkungan hidup di atas akan berkaitan pula dengan citra kota yang bersangkutan, baik citra internal maupun citra eksternal. Secara internal, tidak ditemui keharmonisan dalam kehidupan penduduk di dalamnya, karena tidak adanya keterikatan emosional yang baik antara mereka dengan kota yang mereka tinggali. Kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya sederhana namun sebenarnya merusak dapat diamati dari kebiasaan membuang sampah sembarangan di jalan ataupun di sungai. Secara eksternal, citra kota mengalami penurunan, baik di mata para wisatawan atau pengunjung, maupun di mata penduduk kota lain. Terdegradasinya citra kota ini pada gilirannya akan berakibat pula pada penurunan tingkat ekonomi kota yang bersangkutan. Inilah lingkaran setan yang harus diputus, agar dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan di kota multikultural.

Untuk itu, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Pertimbangan-pertimbangan psikologis ini meliputi perilaku keruangan (territoriality) dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic human needs). Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata ini justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan psikologi arsitektur dapat dijadikan salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural.

Pembahasan

Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa poin penting dalam aspek psikologis manusia yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup yang dihadapi oleh kota-kota multikultural. Dari teori-teori teritorialitas, diketahui bahwa personalisasi pada suatu teritori, walaupun teritori itu bukan hak milik secara mutlak, akan memberikan kesempatan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan mereka akan citra diri dan pengakuan dari orang lain. Sementara itu, dari paparan tentang kebutuhan dasar manusia diketahui bahwa secara umum, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis berupa kebutuhan fisiologis (physiological needs), keamanan (safety), rasa memiliki (belongingness), penghargaan (esteem), dan aktualisasi-diri (self-actualization). Tiga di antaranya, yaitu rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri merupakan faktor yang sangat signifikan dalam membentuk kesadaran manusia secara persuasif.

Melalui pemahaman akan pentingnya pendekatan psikologi arsitektur ini, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah, dibandingkan bertindak sebagai pengatur dan pemaksa. Peraturan-peraturan pemerintah yang sebagian besar bersifat fisikal harus didukung pula dengan tindakan-tindakan persuasif berdasarkan pemahaman akan kondisi psikologis para penduduknya. Telah jamak terjadi di berbagai negara, tindakan-tindakan anarkis dan defensif dari penduduk sebagai buah dari tindakan-tindakan represif pemerintahnya. Buruknya hubungan antara pemerintah dengan penduduk ini pada gilirannya mengakibatkan buruknya citra kota yang bersangkutan di mata para penduduk kota itu sendiri. Pada akhirnya, setiap peraturan yang dikeluarkan hanya dituruti dalam pengawasan ketat dan keadaan terpaksa. Ketika pengawasan itu berkurang, peraturan itu pun tidak lagi dituruti oleh masyarakat, baik pendatang maupun penduduk asli kota itu.

Sebaliknya, dengan pendekatan yang persuasif, pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Pengetahuan-pengetahuan akan pentingnya teritorialitas, personalisasi dan kebutuhan psikologis berupa rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri, seperti dipaparkan di atas, semestinya merupakan bekal yang sangat berharga dalam pendekatan yang persuasif ini. Ketika para penduduk merasa cukup dihargai, didengarkan dan diberi kesempatan untuk turut memperbaiki kota yang mereka tinggali, maka rasa memiliki itu akan muncul dengan sendirinya dan kesadaran untuk memelihara dan menjaga lingkungan kotanya akan tertanam lebih kuat di dalam diri mereka.

Salah satu contoh aplikasi konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Pemerintah dapat bertindak selaku pencetus diadakannya lomba semacam ini, sekaligus sebagai pengatur RTH yang tersedia. Masyarakat asli dan pendatang dapat berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif yang dibawa dari daerah asal mereka pada RTH yang disediakan. Tentu saja, pemerintah harus tetap melakukan pengawasan agar segi-segi positif itu tidak malah menyinggung atau merendahkan daerah lainnya.

Salah satu contoh kota yang pernah memberi kesempatan kepada paguyuban-paguyuban masyarakat pendatang untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya adalah kota Balikpapan. Kota yang didominasi oleh para pendatang ini membagi satu lokasi RTH menjadi beberapa kavling yang berdampingan sebagai area kreativitas para pendatang. Peran pemerintah ini pada gilirannya mampu mengangkat citra kota Balikpapan sesuai dengan slogannya, yaitu kota yang bersih, indah, aman dan nyaman.

Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Hal ini pada gilirannya dapat pula berimbas pada kondusifnya situasi keamanan di kota multikultural itu. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan kondusifnya kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial ini, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.

Di balik semua itu, tentu pada konsep dan pendekatan ini terdapat kekurangan-kekurangan yang harus pula dipaparkan. Namun demikian, pemaparan kekurangan-kekurangan dari konsep dan pendekatan ini diharapkan dapat memacu lahirnya konsep-konsep dan pendekatan-pendekatan yang jauh lebih baik di kemudian hari. Selain itu, kekurangan-kekurangan itu diyakini bukan tanpa jalan keluar. Pemaparan ini dimaksudkan pula sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mencari jalan keluar dari kekurangan-kekurangan itu sendiri.

Kekurangan pertama adalah kemungkinan berlebihnya keinginan dari masing-masing penduduk pendatang untuk menonjolkan kelebihan dirinya sendiri. Hal ini dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara para penduduk pendatang itu. Walaupun begitu, adanya pendampingan yang intensif dari pemerintah dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan semacam itu.

Kekurangan kedua adalah adanya kemungkinan berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung diadakannya lomba taman ini. Ketidakmampuan pemerintah untuk dapat mendorong kreativitas mereka dalam kondisi yang terbatas itu dapat berimbas pada makin inferiornya mereka terhadap kelompok masyarakat pendatang lainnya. Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat mendorong kreativitas itu dengan motivasi-motivasi yang tepat, serta dapat pula memberikan bantuan dana kepada setiap paguyuban peserta lomba.

Ketiga, adanya kemungkinan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba. Hal ini, salah satunya dapat diatasi dengan pengalihan pemeliharaan kepada instansi terkait yang memang bertanggung jawab dalam pemeliharaan taman dan ruang terbuka hijau di kota itu.

Selain salah satu contoh penerapan pengetahuan psikologi arsitektur di atas, tentu masih banyak lagi alternatif perancangan RTH dengan pendekatan ini. Hal ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing pemerintah kota, sesuai dengan karakteristik dan potensi yang ada di masing-masing wilayah.

Penutup

Dari paparan panjang di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai aplikasi pendekatan psikologi arsitektur dalam konsep perancangan ruang terbuka hijau (RTH), khususnya pada kota-kota multikultural, sebagai berikut:

  1. Pentingnya pengetahuan dan pemahaman akan adanya aspek-aspek psikologis yang turut menentukan keberhasilan penanganan masalah kependudukan dan lingkungan hidup di kota-kota multikultural.
  2. Aspek-aspek psikologis yang mempengaruhi itu antara lain adalah teritorialitas, personalisasi, kebutuhan akan rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri.
  3. Pendekatan psikologi arsitektur berdasarkan aspek-aspek psikologis di atas terutama ditekankan pada peran pemerintah sebagai pendorong dan pengarah kepada partisipasi masyarakat pendatang dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup dan kependudukan di kota yang bersangkutan.
  4. Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali.
  5. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
  6. Kekurangan dari konsep ini adalah adanya kemungkinan-kemungkinan persaingan yang tidak sehat akibat keinginan yang berlebih untuk menonjolkan diri, berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung, dan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba.
  7. Pengembangan dari pendekatan psikologi arsitektur dalam perancangan RTH di masing-masing kota multikultural dapat dilakukan oleh pemerintah kota berdasarkan karakteristik dan potensi masing-masing wilayah.

Referensi

Dyayadi. 2008. Tata Kota menurut Islam: Konsep Pembangunan Kota yang Ramah Lingkungan, Estetik dan Berbasis Sosial. Jakarta: Khalifa

Chapman, Alan. 1995. Maslow’s Hierarchy of Needs. diakses dari http://www.businessballs.com/maslow.htm pada tanggal 5 Januari 2009

Laurens, Joyce Marcella. 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasindo

Lewis, Julie, Perry Walker & Catherine Unsworth (eds.). 1998. Participation Works! 21 Techniques of Community Participation for the 21st Century. London: New Economics Fondation

Stea, David. 1984. Space, Territory and Human Movements. dalam Wilson, Forrest, A Graphic Survey of Perception and Behaviour for the Design Professions. New York: Van Nostrand Reinhold