Senin, 27 Desember 2010


MARGO CITY

Jl. Margonda Raya yang diramaikan oleh beragam pusat perbelanjaan merupakan kawasan strategis yang berada di lingkungan pemukiman dan pendidikan. Margo City merupakan Pusat Belanja & Hiburan yang terletak di Jl. Margonda Raya, dengan gedung berdesain dinamis dan modern. Margo City dibangun dengan luas bangunan 67.000 M2 berdiri di atas tanah seluas 7.5 Ha. Margo City yang mengedepankan pelayanan terbaik sebagai acuan dalam mengelola manajemen gedung tersebut, juga didukung dengan desain arsitektur yang khas dan unik, yaitu memiliki land mark sebuah crown berbentuk rangkaian besi tersusun menjulang di atas atrium dan skylight, setinggi 40 m. Bangunan 4 lantai yang terdiri dari Lower Ground, Ground Floor, 1st Floor dan 2nd Floor ini dilengkapi dengan 4 void dan Escalator, Travelator dan Elevator bagi pengunjung.

Leased Mall yang mengadopsi konsep Single Coridor ini, berawal dari konsep comprehensive yang menerangkan arti kata “city” yaitu kota yang didalamnya terdapat berbagai fasilitas. Fasilitas tersebut dikembangkan dalam bentuk clustered dan terwujud dalam 3 zona yang meliputi: Margo Zone, City Zone dan O-Zone dengan rincian:

1. Margo Zone adalah area Food & Beverage dengan rangkaian café, restoran, patisserie and bakery serta Food Court dengan desain unik ber kapasitas 500 tempat duduk.
2. City Zone merupakan area retail fashion dan life style yang menampilkan beragam fasilitas dan brand dari dalam maupun luar negri.
3. Melengkapi kedua zone tersebut, area depan Margo City di lengkapi dengan O-Zone, sebuah area outdoor dengan kelengkapan fasilitas olahraga dan out door seperti : futsal, basket, jogging track, cycling track, skateboard area, bungee trampoline serta beragam fasilitas untuk mahasiswa (students center, DVD/ VCD rental, studio recording, café, dll).

Kritik :

* BANGUNAN ini memang ingin menampilkan sesuatu yang baru dan lain dari museum-museum yang sudah ada. Hal ini dapat terlihat dari bentuk bangunannya yang menggunakan BERSIFAT ceria yang mengesankan kesan nytaman pada pengunjung,, tetapi Hal ini menurut saya rasa kurang menampilkan identitas sebuah bangunan mall pada umumnya ketika orang melihatnya dari luar.

* bangunan ini memiliki bentuk yang monoton. Namun suasana/pengalaman yang akan ditemukan para pengunjung akan sangat monoton/membosankan karena mereka akan menyusuri tempat / outlet yang membosankan.

* Dari segi pencahayaan/lighting pada museum ini saya rasa sudah cukup menampilkan kesan/suasana interior mall yang tenang, damai, dan cocok bagi para pengunjung untuk menikmati untuk belanja dan enjoy.

* Keunikan juga merupakan salah satu daya tarik dalam dunia arsitektur. Menerapkan SCLUPTURE pada atap gedung. Hal ini dapat menjadi sebuah pembelajaran bagi pengembangan karya-karya arsitektur selanjutnya. Maka kata salut pantas dilontarkan untuk MARGO CITY….

Salut…..salut….untuk MARGO CITY…..!!!
Sekian dan trimakasih…^_^

Senin, 17 Mei 2010

Kepadatan dan Kesesakan
Kepadatan dan kesesakan adalah dua dari beberapa konsep gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya. Kedua konsep ini saling berhubungan dan berkaitan satu sama lainnya, sehingga dapat digabungkan ke dalam satu bab tersendiri. Adapun materi-materi yang akan dibahas di dalamnya meliputi:
Kepadatan, meliputi:
A. Pengertian Kepadatan
B. Kategori Kepadatan
C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi
D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya
Kesesakan, meliputi:
A. Pengertian Kesesakan
B. Teori-teori Kesesakan
a. Teori Informasi Berlebih
b. Teori Psikologi Ekologi
c. Teori Kendala Perilaku
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Faktor Personal
Faktor Sosial
Faktor Fisik
D. Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku
KEPADATAN
A. Pengertian Kepadatan
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wrightsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling,1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992)
Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun ini bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus (dalam Worchel dan Cooper, 1983). Secara terinci hasil penelitian Calhoun (dalam Setiadi, 1991) menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah.
Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negatif terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.
Selain itu pengamatan yang dilakukan oleh Dubos (dalam Setiadi, 1991) terhadap jenis tikus Norwegia, menunjukkan bahwa apabila jumlah kelompok telah terlalu besar (over populated), maka terjadi penyimpangan perilaku tikus-tikus itu dengan menceburkan diri ke laut. Hal ini diakibatkan oleh tidak berfungsinya otak secara wajar karena kepadatan tinggi tersebut. Tentu saja hasil penelitian terhadap hewan ini tidak dapat diterapkan pada manusia secara langsung karena manusia mempunyai akal dan norma dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, untuk penelitian kepadatan pada manusia cenderung didasarkan pada data sekunder yaitu data-data yang sudah ada, dari data-data tersebut diamati gejala-gejala yang sering muncul dalam masyarakat.
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal- hal yang negatif akibat dari kepadatan.
- Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
- Kedua, peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva
linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.
- Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.
Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi. Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating. 1979; Stokols dalam Holahan, 1982).
Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1979) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
B. Kategori Kepadatan
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain.
Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur-unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit ramah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur-unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan kedalambeberapakategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah.individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.Altman(1975)membagikepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar; dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian padasetiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapatdikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah. Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu:
(1) Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan
dalam yang rendah;
(2) Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan
kepadatan luar rendah; dan
(3) Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam
rendah sedangkan kepadatan luar tinggi;
(4) Perkampungan Kota yang ditandai dengan
tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.
C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi
Pada bagian sebelumnya telah disajikan secara singkat beberapa bahasan mengenai akibat-akibat kepadatan tinggi, terutama pada penelitian pendahuluan pada binatang dan penelitian lanjutan pada manusia. Pada bagian ini akan banyak dibahas akibat-akibat kepadatan tinggi pada manusia dalam penyajian yang lebih lengkap dan sistemastis.
KESESAKAN
A. Pengertian Kesesakan
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah dibahas di bab terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang. MenurutAltman(1975),HeimstradanMcFarling(1978)antara kepadatan dankesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapibukan satu-satunya syaratyangdapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).Baum dan Paulus ( 1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor:
a. karakteristik seting fisik
b. karakteristik seting sosial
c. karakteristik personal
d. kemampuan beradaptasi
Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial {nonsocial crowding) yaitu di mana faktor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial {social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar {molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi
penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler {moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal. Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang daiam suatu hunian rumah,maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya
kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
Besar kecilnya ukuran rumah menentukan besarnya rasio antara penghuni dan tempat {space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar rasio tersebut. Sebaliknya, makin kecil rumah dan makin banyak penghuninya, maka akan semakin kecil rasio tersebut, sehingga akan timbul perasaan sesak {crowding) (Ancok, 1989).
Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Jadi rangsangan berupa hal-hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang di sini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.
Pendapat lain datang dari Kapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.
B. Teori-teori Kesesakan
Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga. model teori, yaitu beban stimulus, kendala perilaku dan teori ekologi (Bell dkk., 1978; Holahan, 1982). Menurut model beban stimulus, kesesakan akan terjadi pada individu yang dikenai terlalu banyak stimulus, sehingga individu tersebut tak mampu lagi memprosesnya. Model kendala perilaku menerangkan bahwa kesesakan terjadi karena adanya kepadatan sedemikian rupa, sehingga individu merasa terhambat untuk melakukan sesuatu. Hambatan ini mengakibatkan individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Terhadap kondisi
tersebut, individu akan melakukan psychological reactance, yaitu suatu bentuk perlawanan terhadap kondisi yang mengancam kebebasan untuk memilih. Bentuk psychological reac-tance tersebut adalah usaha-usaha untuk mendapatkan lagi kebebasan yang hilang, misalnya dengan cara mencari lingkungan baru atau dengan menata kembali lingkungan yang menyesakkan tersebut. Sedangkan pembahasan teori ekologi membahas kesesakan dari
sudut proses sosial.
Teori Beban Stimulus. Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating ( 1979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang
menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, sepati :
(a) kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan
(b) jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
(c) suatu percakapan yang tidak dikehendaki
(d) terlalu banyak mitra interaksi
(e) interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama
Individu akan melakukan penyaringan atau pemilahan terhadap informasi yang berlebihan tersebut. Stimulus yang tidak berhubungan langsung dengan kepentingannya akan diabaikan. Stimulus yang penting dan bermanfaat bagi dirinyalah yang akan diperhatikan (Bell dkk., 1978; Holahan, 1982), Hal tersebut disarankan oleh Milgram (dalam Perlman dan Cosby,1983) bagi penduduk kota untuk melakukan beberapa strategi untuk menyaring informasi yang mereka terima berlebih. Strategi pertama adalah membuat perbedaan-perbedaan antara informasi yang mendapat prioritas tinggi dengan rendah dan hanya akan memperhatikan informasi yang mendapat prioritas tinggi.-Strategi kedua adalah membatasi waktu yang digunakan untuk memperhatikan tiap-tiap informasi bahkan menolak informasi yang dating bersama-sama. Dengan strategi ini diharapkan intensi informasi yang datang akan berkurang. Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model
ekologi pada manusia.
Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbale balik antara orang dengan lingkungannya.
Kedua, unit analisisnya adalah kelompok social dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting.
Ketiga,menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.Wicker ( 1976) mengemukakan teorinya tentang manning. Teori ini berdiri atas pandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana hal itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.
Analisis terhadap seting meliputi :
1) Maintenance Minimum, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung. Agar pembicaraan menjadi lebih jelas, akan digunakan kasus pada sebuah rumah sebagai contoh suatu seting. Dalam hal ini, yang dinamakan maintenance setting adalah jumlah penghuni rumah minimum agar suatu ruang tidur ukuran 4x3 meter bisa dipakai oleh anak-anak supaya tidak terlalu sesak dan tidak terlalu longgar.
2) Capacity, adalah jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh seting tersebut (jumlah orang maksimum yang dapat duduk di ruang tamu bila sedang dilaksanakan hajatan).
3) Applicant, adalah jumlah penghuni yang mengambil bagian- dalam suatu seting. Applicant dalam seting rumah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
Performer, yaitu jumlah orang yang memegang peran utama, dalam hal ini suami
dan isteri. Non-performer, yaitu jumlah orang yang terlibat dalam peran-peran sekunder, dalam hal ini anak-anak atau orang lain dalam keluarga. Besm\y&maintenancèminimumanteTaperformerdannon-performerùdak selalu sama. Dalam seting tertentu, jumlah performer lebih sedikit daripada jumlah non-performer, dalam seting lain mungkin sebaliknya.
Jika applicant lebih sedikit daripada maintenance minimum, berarti jumlah warga yang dibutuhkan untuk terjadinya suatu aktivitas tidak mencukupi. Keadaan ini disebut Pada dasarnya kesesakan akan terjadi bila sistem regulasi privasi seseorang tidak berjalan secara efektif sehingga lebih banyak kontak sosial yang tidak diinginkan. Akan tetapi sebenarnya kesesakan juga dapat terjadi meskipun seseorang berhasil mencapai tingkat privasi yang diinginkan. Kesesakan timbul karena ada usaha-usaha yang terlalu banyak, yang membutuhkan energi fisik maupun psikis untuk mengatur tingkat interaksi yang diinginkan.
Menurut Altman kondisi kesesakan yang ekstrim akan timbul bila faktor-faktor di bawah ini muncul secara simultan:
1 ). Kondisi-kondisi pencetus, terdiri dari tiga faktor:
a) Faktor-faktor situasional, seperti kepadatan ruang yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, dengan sumber-sumber pilihan perilaku yang terbatas.
b) Faktor-faktor personal, seperti kurangnya kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam situasi yang padat dan rendahnya keinginan berinteraksi dengan orang lain yang didasarkan pada latar belakang pribadi, suasana hati, dan sebagainya.
c) Kondisi interpersonal, seperti gangguan sosial, ketidakmampuan memperoleh
sumber-sumber kebutuhan, dan gangguan-gangguan lainnya.
2). Serangkaian faktor-faktor organismik dan psikologis seperti stres, kekacauan pikiran, dan perasaan kurang enak badan.
3). Respon-respon pengatasan, yang meliputi beberapa perilaku verbal dan non verbal yang tidak efektif dalam mengurangi stres atau dalam mencapai interaksi yang diinginkan dalam jangka waktu yang panjang atau lama.
Jadi kunci utama dalam kerangka pikiran yang dikemukakan oleh Altman adalah bahwa kesesakan yang ekstrim akan timbul bila keseluruhan faktor-faktor tersebut di atas muncul secara bersama-sama atau simultan. Misalnya seseorang yang sedang berada dalam situasi sosial yang padat, selama jangka waktu yang lama, tidak menginginkan interaksi, dan memiliki perasaan stres yang diasosiasikan dengan berbagai macam perilaku pengatasan yang tidak berjalan dengan baik, atau pengatasan tersebut membutuhkan terlalu banyak
energi. Oleh karena faktor-faktor tersebut akan timbul dalam jumlah yang berbeda-beda,maka akan timbul efek kesesakan yang berbeda-beda tingkatannya.
Kesesakan juga dapat timbul bila variabel-variabel tertentu tidak ada, seperti misalnya tidak ada kepadatan. Contohnya jika ada dua orang saja dalam suatu ruangan yang luas, yang satu mengganggu yang lain, dan orang yang diganggu tersebut tidak mampu mengusir orang yang mengganggu itu, sehingga akan timbul stres yang dapat mengurangi efektivitas respon-respon pengatasan, maka kesesakan akan timbul. Altman ( 1975) membuat model kesesakan tersebut.
Model tersebut menerangkan bahwa dap individu mempunyai tingkat privasi yang berbeda-beda. Privasi yang diinginkan seseorang terbentuk dari kombinasi faktor-faktor personal, interpersonal, dan situasional. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut disebut dengan situation definition.
Untuk mendapatkan interaksi yang diinginkan individu menggunakan bermacam-
macam mekanisme penyesuaian diri (coping), antara lain verbal, paraverbal, non verbal, ruang personal, dan perilaku teritori.
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu: personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
Faktor Personal. Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.
a). Kontrol pribadi dan locus of control
Seligman dan kawan-kawan (dalam Worchel dan Cooper, 1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai control terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol pribadi di dalamnya. Penelitian yang dilakukan di asrama mahasiswa mendapatkan kesimpulan bahwa hilangnya pengaturan kontrol pada tempat tinggal yang padat ditandai dengan adanya rasa sesak. Kelompok mahasiswa penghuni asrama yang lebih sempit mulai merasakan tempat tinggal mereka lebih sesak setelah kehilangan kontrol atas pengalaman-pengalaman sosial yang terjadi disbanding kelompok mahasiswa penghuni asrama yang lebih luas (Baum, Aiello dan Calesnick, 1978). Individu yang mempunyai locus of control internal, yaitu kecenderungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaan yang ada di dalam dirinyalah yang berpengaruh terhadap kehidupannya, diharapkan dapat mengendalikan kesesakan yang lebih
baik daripada individu yang mempunyai locus of control eksternal (Gifford, 1987)
b). Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan Min (dalam Gifford, 1987), yang mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia.
Sundstrom (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalamkondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mempengaruhi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stres akibat kesesakan yang dialami. Tingkat toleransi akibat adaptasi ini berguna bila individu dihadapkan pada situasi yang baru. Bell dan kawan-kawan (1978) mengatakan bahwa semakin sering atau konstan suatu stimulus muncul, maka akan timbul proses pembiasaan yang bersifat psikologis (adaptasi) dan fisik (habituasi) dalam bentuk respon yang menyebabkan kekuatan stimulus tadi melemah. Karena proses pembiasaan ini berhubungan dengan waktu, maka dalam kaitannya
dengan kesesakan di kawasan tempat tinggal, lamanya individu tinggal di kawasan tersebut akan mempengaruhi perasaan sesaknya.
Menurut Yusuf (1991) keadaan-keadaan kepadatan yang tinggi yang menyebabkan kesesakan justru akan menumbuhkan kreativitas-kreativitas manusia untuk melakukan intervensi sebagai upaya untuk menekan perasaan sesak tersebut. Pada masyarakat Jepang, upaya untuk menekan situasi kesesakan adalah dengan membangun rumah yang ilustratif! yang dindingnya dapat dipisah-pisahkan sesuai dengan kebutuhan sesaat, serta untuk mensejajarkan keadaannya dengan ruang dan wilayah yang tersedia. Pola ini memiliki beberapa kegunaan sesuai dengan kebutuhan sosial penghuninya, seperti untuk makan, tidur, dan rekreasi. Volume dan konfigurasi tata ruang adalah fleksibel, sehingga dapat diubah-ubah sesuai kebutuhan dalam upayanya untuk menekan perasaan sesak.
Bentuk kreativitas bangsa Jepang lain yang merupakan upaya untuk menekan kesesakan dapat dilihat dari kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang sifatnya miniatur.
Peficiptaan bonsai dan suiseki merupakan manifestasi keinginan orang Jepang untuk mengintervensi keadaan yang sesak.
Studi lain dilakukan oleh Anderson (dalam Yusuf, 1991) pada keluarga-keluarga Cina yang tinggal secarakomunal di Malaysia. Keluarga-keluarga ini mempertahankan pemisahan ruang yang bisa dikunjungi dan ruang yang tidak bisa dilihat atau ditempati. Mereka juga memelihara pemisahan keluarga tersebut dengan keluarga lain dalam pengertian terdapat beberapa praktek budaya, termasuk di antaranya larangan (bahkan tabu) untuk memasuki dan
melihat ruang tidur orang lain dan mereka membagikan beberapa papan sebagai dinding untuk memisahkan dapur-dapur yang terdapat dalam dapur komunal tersebut.
c). Jenis Kelamin dan usia
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada pria pengalaman akan kesesakan ini lebih terlihat dibanding wanita karena lebih menunjukkan sikap-sikap reaktif terhadap kondisi tersebut. Sikap reaktif itu tercemin dalam sikap yang lebih agresif, kompetitif dan negatif dalam berinteraksi dengan orang lain (Altman, 1975; Freedman, 1975; Holahan,1982). Sementara itu Dabbs (1977) mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin tidaklah berpengaruh terhadap kesesakan, melainkan lebih dipengaruhi oleh jenis kelamin mitra yang dihadapi.
Menurut Loo (dalam Gove dan Hughes, 1983) dan Holahan (1982) gejala reaktif
terhadap kesesakan juga lebih terlihat pada individu yang usianya lebih muda dibanding yang lebih tua.
Faktor Sosial. Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi di lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut
adalah :
a). Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain. Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) melaporkan bahwa penghuni asrama akan merasa lebih sesak bila terlalu banyak menerima kunjungan orang lain. Penghuni yang menerima kunjungan lebih banyak juga merasa lebih tidak puas dengan ruangan, teman sekamar, dan proses belajar mereka.
b). Formasi koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan social akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekamar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yang disebabkan karena terbentuknya koalisi di satu pihak dan satu orang yang terisolasi di lain pihak (Gifford, 1987).
c). Kualitas hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gifford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.
d). Informasi yang tersedia
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebeium dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).

Kepadatan dan Kesesakan
2 Ciri dari Kepadatan dan Kesesakan :
- Kesesakan adalah persepsi terhadap kepadatan dalam arti jumlah manusia, jadi tidak termasuk yang non-manusia.
o Contoh : Orang yang berada di hutan yang penuh pohon-pohon tidak merasa kesesakan, tetapi orang yang berada dalam kamar mandi/toilet umum yang padat pengunjungnya akan merasakan kesesakan.
- Karena kesesakan adalah persepsi maka sifatnya subyektif.
o Orang yang biasa naik bis yang padat penumpangnya, sudah tidak merasa sesak lagi (density tinggi – crowding rendah).
o Orang yang bisa mengendarai kendaraan pribadi, merasa sesak dalam bis yang setengah kosong ( density rendah – crowding tinggi).
Perbedaan kepadatan dan kesesakan :
a. Kepadatan (density) : kendala kekurangan (bersifat obyektif).
b. Kesesakan (crowding) : respon subyektif terhadap ruang yang sesak.
Kepadatan memang merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya persepsi kesesakan, tetapi bukanlah syarat yang mutlak.
Manusia membedakan kepadatan di dalam rumahnya (Inside density) dan di luar rumahnya (Outside density).
Dari kombinasi 2 jenis kepadatan tersebut diperoleh 4 jenis kepadatan :
1. Kepadatan pedesaan
Kepadatan dalam rumah tinggi, tetapi kepadatan di luar rendah.

2. Kepadatan pinggiran kota (sub urban)
Kepadatan di dalam dan di luar rendah.

3. Kepadatan pemukiman kumuh di kota
Kepadatan di dalam dan di luar tinggi.

4. Kepadatan pemukiman mewah di kota besar
Kepadatan di dalam rumah rendah tetapi di luar tinggi.

Dampak kepadatan dan kesesakan pada manusia
Patologi Sosial
Meningkatnya,
- Kejahatan
- Bunuh diri
- Penyakit jiwa
- Kenakalan remaja
Tingkah laku sosial
- Agresi
- Menarik diri dari lingkungan sosial
- Berkurangnya tingkah laku menolong
- Kecenderungan menjelekkan orang lain
Kinerja
- Hasil dan prestasi kerja menurun
- Suasana hati (mood) cenderung lebih murung
Referensi :
Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Jakarta:Gunadarma,1998.

Minggu, 11 April 2010

PRIVASI DAN TERITORIAL MANUSIA

PERSONAL SPACE (RUANG PRIBADI)
ruang pribadi adalah kawasan sekitarnya seseorangyang mereka anggap sebagai psikologis mereka.Invasi ruang pribadi sering menyebabkan ketidaknyamanan, marah, atau kecemasan pada pihak korban. [1] Gagasan ruang pribadi berasal dari Edward T. Hall , yang gagasannya dipengaruhi oleh Heini Hediger studi s ‘dari perilaku hewan kebun binatang . [2]
The amigdala diduga kuat itu reaksi orang pengolahan untuk pelanggaran ruang pribadi sejak ini tidak ada pada mereka yang sudah rusak dan itu diaktifkan ketika orang secara fisik dekat. [3]
Ukuran
ruang pribadi Seseorang (dan sesuai zona kenyamanan ) adalah sangat bervariasi dan sulit untuk mengukur secara akurat. Perkiraan tempat itu sekitar 24,5 inci (60 cm) di kedua sisinya, 27,5 inci (70 cm) di depan dan 15,75 inci (40 cm) di belakang untuk orang Barat rata-rata.
Variasi



Dua orang tidak mempengaruhi ruang pribadi masing-masing.



Reaksi dari dua orang yang berada di ruang pribadi konflik.
ruang pribadi adalah sangat bervariasi. Mereka tinggal di sebuah tempat yang berpenduduk padat cenderung memiliki ruang pribadi yang lebih kecil. Warga Indiacenderung memiliki ruang pribadi lebih kecil daripada diMongolia padang rumput , baik dalam hal rumah danindividu . Untuk contoh yang lebih rinci, lihat kontak Tubuh dan ruang pribadi di Amerika Serikat .
ruang pribadi telah berubah historis bersama dengan batas-batas publik dan swasta dalam budaya Eropa sejak Kekaisaran Romawi. Topik ini telah dieksplorasi dalam A History of Private Life, di bawah redaktur umum Philippe Aries dan Georges Duby , diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Belknap Press.
ruang pribadi adalah juga dipengaruhi oleh posisi seseorang dalam masyarakat dengan individu-individu lebih makmur menuntut ruang pribadi yang lebih besar.[ rujukan? ]
Orang membuat pengecualian terhadap, dan memodifikasi persyaratan ruang mereka. Misalnya dalam pertemuan romantis tegangan dari jarak dekat yang memungkinkan ruang pribadi dapat ditafsirkan kembali ke semangat emosional. Selain itu, sejumlah hubungan memungkinkan untuk ruang pribadi untuk dimodifikasi dan ini termasuk hubungan keluarga, mitra romantis, persahabatan dan kenalan dekat di mana tingkat yang lebih besar dari kepercayaan dan pengetahuan seseorang memungkinkan ruang pribadi harus dimodifikasi.
Adaptasi
Menurut psikolog Robert Sommer metode untuk berurusan dengan melanggar ruang pribadi adalah dehumanisasi. Dia berpendapat bahwa (misalnya) di kereta bawah tanah, orang ramai sering membayangkan mengganggu orang-orang di ruang pribadi mereka sebagai mati. Perilaku adalah metode lain: seseorang mencoba untuk berbicara dengan seseorang seringkali dapat menyebabkan situasi di mana satu orang langkah maju untuk memasukkan apa yang mereka anggap sebagai jarak percakapan, dan orang yang mereka bicarakan bisa melangkah mundur untuk mengembalikan ruang pribadi mereka.
Cara lain adalah pemisahan fisik: beberapa mobil kereta api adalah perempuan-saja, untuk mengizinkan wanita untuk menghindari laki-laki memasuki ruang pribadi mereka, memberikanprivasi , dan keamanan dari kemungkinan yang meraba-raba .
Ruang neuropsikologi
Neuropsikologi menggambarkan ruang pribadi dalam hal jenis ‘dekat-ness’ untuk tubuh.
1. Extrapersonal Ruang: Ruang yang terjadi di luar jangkauan individu.
2. Peripersonal Ruang: Ruang dalam jangkauan setiap dahan individu. Jadi harus ‘panjang dalam-lengan’ adalah berada dalam ruang peripersonal seseorang.
3. Pericutaneous Ruang: Ruang di luar tubuh kita tetapi yang mungkin dekat untuk menyentuhnya. perseptif taktil bidang-Visual tumpang tindih dalam pengolahan ruang ini sehingga, misalnya, individu mungkin akan melihat bulu tidak menyentuh kulit mereka, tetapi masih merasakan Inklings menjadi menggelitik ketika melayang-layang di atas tangan mereka. [4]
Amigdala
Penelitian link amigdala dengan reaksi emosional untuk kedekatan dengan orang lain. Pertama, itu diaktifkan oleh kedekatan tersebut, dan kedua, pada pasien dengan kerusakan bilateral lengkap amigdala mereka kurangnya rasa batas ruang pribadi. [3] Sebagai peneliti telah mencatat: “Temuan kami menunjukkan bahwa amigdala dapat menengahi gaya tolak yang membantu menjaga jarak minimal antara orang-orang. Selanjutnya, temuan kami konsisten dengan mereka yang monyet dengan lesi amigdala bilateral, yang tinggal dalam jarak dekat dengan monyet atau orang lain, efek yang kami sarankan muncul dari tidak adanya tanggapan emosional yang kuat untuk pribadi ruang pelanggaran “. [3]


TERITORIAL MANUSIA
Wilayah adalah ruang dipertahankan. Properti, sebagai ruang yang dimiliki yang ditampilkan sebagai ruang yang dimiliki, adalah jenis khusus dari sistem bagi hasil yang jauh lebih mengurangi pertempuran yang menyebabkannya. Manusia adalah co-operative spesies, tetapi ia juga kompetitif, dan perjuangannya untuk dominasi harus terstruktur dalam beberapa cara jika kekacauan harus dihindari. Pembentukan hak teritorial adalah salah satu struktur tersebut. Ini membatasi dominasi geografis. Saya dominan di daerah saya dan Anda dominan dalam Anda. Dengan kata lain, dominasi ini dibagi spasial, dan kita semua memiliki beberapa. Bahkan jika saya lemah dan tidak cerdas dan Anda dapat mendominasi saya ketika kami bertemu di tanah netral, aku masih bisa menikmati peran yang dominan secara menyeluruh begitu saya mundur ke base pribadi saya. Jadilah itu pernah begitu rendah hati, tidak ada tempat seperti wilayah rumah. Dalam arti luas, ada tiga jenis wilayah manusia: suku, keluarga dan pribadi.
ü Pertama Daerah Kesukuan. Kami berevolusi sebagai hewan suku, relatif hidup di kelompok-kelompok kecil, mungkin kurang dari seratus, dan kami ada seperti itu selama jutaan tahun. Ini adalah unit dasar sosial kita, sebuah kelompok di mana semua orang tahu orang lain. Pada dasarnya, wilayah suku terdiri dari dasar rumah dikelilingi oleh lahan perburuan diperpanjang. Setiap suku tetangga mengganggu ruang sosial kita akan ditolak dan diusir. Sebagai awal suku ini membengkak menjadi lahan pertanian super-suku, dan akhirnya menjadi negara industri, sistem pertahanan teritorial mereka menjadi semakin rumit. Itu, rumah kecil kuno dasar dari suku berburu menjadi ibu kota besar, cat primitif-perang menjadi bendera, emblem, seragam dan tanda-tanda kebesaran militer khusus, dan perang-bini menjadi lagu kebangsaan, lagu dan berbaris panggilan terompet. Teritorial batas-batas garis mengeras menjadi tetap, sering mencolok berpatroli dan diselingi dengan struktur-benteng pertahanan dan pengintaian posting, pos pemeriksaan dan dinding yang besar, dan hari ini, hambatan bea cukai.
bangsa. Setiap Hari lalat bendera sendiri, sebuah perwujudan simbolik status teritorial. Tapi patriotisme tidak cukup. Kuno suku pemburu mengintai di dalam setiap warga negara menemukan dirinya tidak puas dengan keanggotaan seperti konglomerasi besar individu, yang kebanyakan adalah benar-benar tidak dikenal secara pribadi. Dia melakukan yang terbaik untuk merasa bahwa ia saham pertahanan teritorial yang sama dengan mereka semua, tetapi skala operasi telah menjadi tidak manusiawi. Sulit untuk merasakan rasa memiliki dengan suku lima puluh juta atau lebih. Jawabannya adalah untuk membentuk sub-kelompok, lebih dekat dengan pola kuno itu, lebih kecil dan lebih dikenal secara pribadi kepadanya-klub lokal, geng remaja, serikat, masyarakat ahli, asosiasi olahraga, partai politik, perguruan tinggi persaudaraan, perwira sosial, kelompok protes, dan sisanya. Langka memang adalah individu yang bukan milik setidaknya satu dari kelompok-kelompok sempalan, dan mengambil dari itu rasa kesetiaan suku dan persaudaraan. Khas dari semua kelompok ini adalah pengembangan Teritorial Sinyal – lencana, kostum, markas,
spanduk, slogan, dan semua menampilkan identitas kelompok lain. Ini adalah tempat tindakan, dalam hal territorialism suku, dan hanya bila pecah perang besar tidak bergeser ke atas penekanan ke tingkat kelompok yang lebih tinggi dari bangsa.
Masing-masing suku-pseudo modern mendirikan semacam tersendiri dasar rumah. Dalam kasus ekstrim non-anggota sama sekali dikecualikan, di lain mereka diizinkan sebagai pengunjung dengan hak terbatas dan di bawah sistem kendali peraturan khusus. Dalam banyak hal mereka seperti miniatur bangsa, dengan bendera mereka sendiri dan emblem dan penjaga perbatasan mereka sendiri. Klub eksklusif memiliki sendiri ‘penghalang pelanggan: penjaga pintu yang memeriksa paspor’ ‘(kartu keanggotaan Anda) dan mencegah dari orang-orang asing lewat di tertandingi. Ada pemerintah: komite klub, dan khusus sering menampilkan para tetua suku: foto-foto atau potret pejabat sebelumnya di dinding. Di jantung wilayah khusus ada perasaan yang kuat dan pentingnya keamanan, rasa pertahanan bersama melawan dunia luar. Sebagian besar klub obrolan, baik yang serius dan bercanda, mengarahkan diri terhadap segala kebusukan di luar batas-klub di ‘dunia lain’ di luar portal dilindungi … …
ü Kedua Wilayah Keluarga. Pada dasarnya, keluarga adalah unit pembibitan dan wilayah keluarga adalah tempat berkembang biak. Di tengah ruang ini, ada sarang – kamar tidur – mana, terselip di tempat tidur, kita merasa aman kami yang paling teritorial. Dalam sebuah rumah khas kamar tidur di lantai atas, di mana sarang harus aman. Ini menempatkan lebih jauh dari pintu masuk, area dimana kontak dibuat, sebentar-sebentar, dengan dunia luar. Penerimaan kurang kamar pribadi, di mana penyusup diperbolehkan akses, adalah baris berikutnya pertahanan.Selain mereka, di luar dinding bangunan, sering kali ada sisa simbol-kuno makan sebuah taman dasar. Its simbolisme sering meluas ke tanaman dan hewan itu mengandung, yang berhenti menjadi gizi dan menjadi hanya dekoratif-bunga dan hewan peliharaan. Tapi seperti ruang wilayah benar memiliki batas ditampilkan mencolok-line, pagar taman, dinding, atau pagar. Seringkali tidak lebih dari penghalang token, ini adalah demarkasi teritorial luar, memisahkan dunia pribadi keluarga dari dunia luar publik. Untuk lintas menempatkan setiap pengunjung atau penyusup pada kerugian langsung. Saat ia melintasi batas dominasinya berkurang, sedikit tapi salah lagi. Dia memasuki daerah di mana ia merasa bahwa dia harus meminta izin untuk melakukan hal-hal sederhana yang ia akan mempertimbangkan hak tempat lain. Tanpa mengangkat jari, pemilik teritorial memaksakan dominasi mereka. Hal ini dilakukan oleh semua ratusan penanda kepemilikan kecil mereka disimpan pada wilayah keluarga mereka: ornamen, obyek memiliki posisi dalam kamar dan di dinding, perabotan, mebel, warna, pola, semua pemilik dipilih dan semua membuat dasar rumah khusus ini unik untuk mereka ….
Ketika mereka berani maju sebagai suatu unit keluarga mereka ulangi proses dengan cara kecil. Pada hari perjalanan ke pantai, mereka beban mobil dengan barang-barang pribadi dan menjadi sementara mereka, wilayah portabel. Sesampainya di pantai mereka mengintai klaim teritorial kecil, menandai dengan karpet, handuk, keranjang dan barang-barang lainnya yang mereka dapat kembali dari pengembaraan daerah pesisir mereka. Bahkan jika mereka semua meninggalkan sekaligus untuk mandi, ia tetap kualitas teritorial karakteristik dan kelompok-kelompok keluarga lainnya tiba akan mengenali hal ini dengan menyiapkan mereka sendiri ‘rumah’ basis pada jarak hormat cara. Hanya ketika seluruh pantai telah diisi dengan ruang-ruang akan ditandai pendatang baru mulai memposisikan diri di sebuah sedemikian rupa sehingga jarak antar-dasar menjadi berkurang. Dipaksa pitch antara beberapa wilayah pantai yang ada mereka akan merasakan sensasi sesaat dari intrusi, dan mendirikan ‘pemilik’ akan merasakan sensasi yang sama invasi, meskipun mereka tidak secara langsung nyaman.
Adegan teritorial yang sama sedang dimainkan di taman dan ladang dan tepi sungai, di mana kelompok-kelompok keluarga berkumpul di cluster unit mereka permusuhan. Tetapi jika persaingan untuk ruang menciptakan perasaan ringan, memang benar untuk mengatakan bahwa, tanpa sistem teritorial berbagi dan dominasi terbatas ruang, akan ada gangguan kacau.
ü Ketiga Space pribadi. Jika orang masuk ruang tunggu dan duduk di salah satu ujung deretan panjang kursi kosong, adalah mungkin untuk memprediksi di mana orang berikutnya untuk masuk akan duduk sendiri. Dia tidak akan duduk di sebelah orang pertama, juga tidak akan ia duduk di ujung, tepat darinya. Dia akan memilih posisi sekitar pertengahan antara dua titik. Orang berikutnya untuk masuk akan mengambil kesenjangan terbesar kiri, dan duduk kasar di tengah itu, dan seterusnya, sampai akhirnya pendatang baru terbaru akan dipaksa untuk memilih tempat duduk yang menempatkan dirinya tepat di samping salah satu orang sudah duduk. Pola serupa dapat diamati di bioskop, urinal publik, pesawat terbang, kereta api dan bis, ini merupakan cerminan dari kenyataan bahwa kita semua membawa bersama kami, di mana-mana kita pergi, sebuah wilayah portabel yang disebut Space pribadi. Jika orang-orang bergerak di dalam ruang ini, kami merasa terancam. Jika mereka tetap terlalu jauh di luar itu, kami merasa ditolak. Hasilnya adalah serangkaian penyesuaian spasial halus, biasanya operasi cukup sadar dan menghasilkan kompromi yang ideal sejauh ini adalah mungkin. Jika situasi menjadi terlalu ramai, maka kita menyesuaikan reaksi kita sesuai dan memungkinkan ruang pribadi kita menyusut.Macet menjadi sebuah lift, sebuah kompartemen jam sibuk, atau ruang penuh sesak, kita menyerah sama sekali dan membiarkan tubuh-untuk-tubuh kontak, tetapi ketika kita melepaskan kami Personal Space dengan cara ini, kita mengadopsi teknik khusus tertentu. Pada dasarnya, apa yang kita lakukan adalah mengubah benda-benda lain menjadi ‘nonpersons. Kami sengaja mengabaikan mereka, dan mereka kami. Kami mencoba untuk tidak menghadapi mereka jika kita mungkin bisa menghindarinya. Kami menghapus semua ekspresi dari wajah kita, membiarkan mereka kosong. Kami mungkin akan melihat langit-langit atau ke lantai, dan kami mengurangi gerakan tubuh yang minimal. Dikemas bersama-sama seperti ikan sarden dalam kaleng, kami masih berdiri membisu, mengirimkan sinyal sesedikit mungkin sosial.
Bahkan jika berkerumun kurang parah, kita masih cenderung mengurangi interaksi sosial kita di hadapan sejumlah besar. pengamatan yang teliti terhadap anak-anak di kelompok bermain mengungkapkan bahwa jika mereka pengelompokan kepadatan tinggi ada interaksi sosial antara anak-anak kurang individu, meskipun ada lebih peluang teoritis untuk kontak tersebut. Pada saat yang sama, kelompok-kepadatan yang tinggi menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi agresivitas dan pola perilaku destruktif dalam permainan mereka. - ‘Siku kamar Personal Space’ – merupakan komoditas vital bagi binatang manusia, dan satu yang tidak bisa diabaikan tanpa risiko masalah serius ….
Di antara kami yang harus menghabiskan banyak waktu dalam kondisi yang penuh sesak secara bertahap menjadi lebih mampu menyesuaikan diri, tapi tak seorang pun bisa menjadi benar-benar kebal terhadap invasi Personal Space. Hal ini karena mereka tetap selamanya terkait dengan baik bermusuhan kuat atau sama kuat dan perasaan-perasaan cinta. Semua kami melalui masa kanak-kanak kita akan telah diselenggarakan untuk dicintai dan dianggap menyakiti, siapa pun yang menyerang kami Personal Space ketika kita dewasa ini, berlaku , mengancam untuk memperluas perilaku ke dalam salah satu dari dua daerah sangat dituntut interaksi manusia. Bahkan jika motivasinya jelas tidak bermusuhan atau seksual, kita masih sulit untuk menekan reaksi kita terhadap pendekatan dekatnya. Sayangnya, negara-negara yang berbeda mempunyai ide yang berbeda tentang bagaimana dekat dekat. Sangat mudah untuk menguji sendiri ‘ruang reaksi “: ketika Anda berbicara dengan seseorang di jalan atau di ruang terbuka, menjangkau dengan lengan Anda dan melihat di mana titik terdekat di tubuhnya datang. Jika Anda berasal dari Eropa barat, Anda akan menemukan bahwa ia adalah di sekitar ujung jari jarak dari Anda. Dengan kata lain, saat Anda mencapai keluar, ujung jari Anda hanya akan tentang membuat kontak dengan bahunya. Jika Anda datang dari Eropa Timur Anda akan menemukan Anda berdiri di ‘jarak pergelangan tangan’. Jika Anda berasal dari wilayah Mediterania Anda akan menemukan bahwa Anda lebih dekat dengan teman Anda, pada jarak siku sedikit lebih ‘daripada’.
Masalah dimulai ketika seorang anggota dari salah satu kebudayaan bertemu dan berbicara dengan satu sama lain bertemu. Katakanlah seorang diplomat Inggris Italia atau seorang diplomat Arab di fungsi kedutaan. Mereka mulai berbicara dengan cara yang ramah, tetapi kemudian pria ujung jari mulai merasa tidak nyaman. Tanpa cukup mengetahui mengapa, ia mulai mundur dengan lembut dari rekannya. Tepi teman maju lagi. Setiap mencoba cara ini untuk mendirikan sebuah Space hubungan pribadi yang sesuai dengan latar belakang sendiri. Tetapi tidak mungkin untuk dilakukan. Setiap kali bergerak Hamilton kembali, yang lain merasa ditolak. Upaya untuk menyesuaikan situasi ini sering mengarah pada pasangan berbicara pergeseran perlahan di ruangan, dan banyak sebuah resepsi kedutaan besar penuh dengan orang-jarak-Eropa barat ujung jari ditempelkan ke dinding oleh orang-orang siku-jarak bersemangat. Sampai perbedaan tersebut sepenuhnya dipahami, dan tunjangan dibuat, perbedaan ‘dalam tubuh wilayah kecil ini’ akan terus bertindak sebagai faktor keterasingan yang dapat mengganggu dengan cara yang halus dengan harmoni diplomatik dan bentuk lain dari transaksi internasional ….
Sebuah metode ketiga memperkuat tubuh-wilayah adalah dengan menggunakan spidol pribadi. Buku, kertas dan barang-barang pribadi lainnya yang tersebar di sekitar lokasi favorit untuk membuat lebih swasta di mata sahabat. Menyebar’s harta satu-dikenal adalah trik-transportasi baik dalam situasi umum, di mana traveler mencoba memberikan kesan bahwa kursi di sebelahnya yang diambil. Dalam banyak konteks hati-hati diatur spidol pribadi dapat bertindak sebagai tampilan teritorial yang efektif, bahkan tanpa adanya pemilik wilayah. Percobaan di perpustakaan menunjukkan bahwa menempatkan tumpukan majalah di atas meja di salah satu posisi duduk yang berhasil disediakan tempat untuk rata-rata 77 menit. Jika jaket olahraga-ditambahkan, tersampir di kursi, maka efek pemesanan ‘berlangsung selama dua jam.
Dengan cara ini, kami memperkuat pertahanan Ruang Pribadi kita, menjaga dari penyusup dengan minimum permusuhan terbuka. Seperti dengan semua perilaku teritorial, tujuannya adalah untuk mempertahankan ruang dengan sinyal bukan dengan tinju dan pada ketiga tingkat – dari suku, keluarga dan pribadi – ini adalah sistem yang sangat efisien ruang-sharing. Itu tidak selalu tampak begitu, karena surat kabar dan berita pasti memuliakan pengecualian dan diam di atas kasus-kasus di mana sinyal telah gagal dan perang pecah, geng telah berjuang, tetangga keluarga telah feuded, atau rekan bentrok, tetapi untuk setiap sinyal teritorial yang gagal, ada jutaan orang lain yang belum,. Mereka tidak menyebutkan nilai sebuah berita namun merupakan sebuah fitur dominan dari masyarakat manusia – masyarakat dari hewan teritorial sangat.

Minggu, 28 Maret 2010

Perilaku Manusia Pada Ruang Terbuka Hijau

By adid ganda permana

Perilaku manusia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.

Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol sosial. Dalam kedokteran perilaku seseorang dan keluarganya dipelajari untuk mengidentifikasi faktor penyebab, pencetus atau yang memperberat timbulnya masalah kesehatan. Intervensi terhadap perilaku seringkali dilakukan dalam rangka penatalaksanaan yang holistik dan komprehensif.

Perilaku manusia dipelajari dalam ilmu psikologi, sosiologi, ekonomi, antropologi dan kedokteran

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia

  • Genetika
  • Sikap – adalah suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu.
  • Norma sosial – adalah pengaruh tekanan sosial.
  • Kontrol perilaku pribadi – adalah kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya melakukan suatu perilaku.
  • Ruang publik terbuka khususnya ruang terbuka hijau merupakan salah satu kebutuhan masyarakat perkotaan saat ini dan itu menjadi paru-paru kota. Di ruang publik terbuka itu, warga dapat bersosialisasi melalu berbagai kegiatan seperti olahraga, bercengkerama, rekreasi, diskusi, pameran/bazar, dan lainnya.Anak-anak mungkin bisa bermain dengan leluasa di bawah teduhnya pohon-pohon yang rimbun. Singkatnya,ini menjadi tempat rekreasi dan olahraga yang menyenangkan tanpa harus mengeluarkan biaya.
  • Di Jakarta, tepatnya di daerah Menteng masih memiliki banyak ruang terbuka publik terbuka misalnya taman bermain, taman kompleks ( perumahan ), dan taman rekreasi. Salah satu ruang terbuka hijau yang masih bertahan hingga saat ini ialah Taman Suropati. Taman ini merupakan salah satu taman yang sering didatangi oleh masyarakat baik pagi, siang, maupun malam hari. Taman ini sering dipadati masyarakat karena banyak orang mengatakan bahwa tempat ini asri, sejuk, dan tenang dibandingkan dengan ruang public tetutup lainnya sehingga orang senang datang ke sini untuk menikmati sejuknya tanaman yang ada di taman ini.
  • Jenis taman terbagi jadi 2 yaitu :

a. Taman aktif

Yang memiliki fungsi sebagai tempat bermain, dengan dilengkapi elemen-elemen pendukung taman bermain antara lain ayunan, petung, dan sebagainya.

b. Taman pasif

Taman ini hanya sebagai elemen estetis saja, sehingga kebanyakan untuk menjaga keindahan tanaman di dalam taman tersebut akan dipasang pagar di sepanjang sisi luar taman.

Tiga nilai utama yang seharusnya dimiliki oleh ruang public agar menjadi ruang publik yang baik ialah ;

a. Ruang yang responsive

Artinya ruang public didesain dan diatur untuk melayani kebutuhan pemakainya. Selain itu ruang public menjadi suatu tempat menemukan hal-hal baru akan dirinya atau orang lain. Pada ruang public masyarakat juga dapat menemukan ide-ide baru, sehingga dapat dikatakan sebagai tempat mencari inspirasi.

b. Ruang yang demokratis

Ruang public harus dapat melindungi hak-hak kelompok pemakainya. Ruang public dapat dipakai oleh semua kelompok dan memberikan kebebasan bertindak bagi pemakainya sehingga untuk sementara mereka dapat memiliki ruang public tersebut. Ini berarti pada suatu ruang public, seseorang dapat bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan tetapi tetap memperhatikan batasan ( norma ) yang berlaku sehingga tidak mengganggu kebebasan orang lain.

c. Ruang yang mempunyai arti atau makna

Ruang public harus dapat memberikan pemakainya berhubungan kuat dengan ruang public itu sendiri, kehidupan pribadinya, dan dunia yang lebih luas. Ruang public yang memberikan arti seperti ini akan membuat masyarakat selalu ingin berkunjung ke sana lagi.

Kualitas ruang public dapat ditinjau dari dua pokok segi yaitu segi fisik dan non fisik. Beberapa criteria yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas seara fisik, antara lain :

§ Ukuran

Ruang terbuka yang ada harus sesuai dengan keputusan serta standar penyediaan sarana yang ada. Contoh misalnya kebutuhan pedestrian ways yang baik ialah sekitar2,5 sampai 4 meter sehingga pejalan kaki merasa bebas bergerak.

§ Kelengkapan sarana elemen pedukung

Kelengkapan saranan pendukung dalam suatu ruang public sangat menentukan kualitas ruang tersebut. Beberapa kelengkapan pendukung dalam suatu ruang public khususnya taman misalnya tempat duduk, papan anjuran, tempat sampah, dan lampu jalan atau taman.

§ Desain

Desain dalam suatu ruang public akan menunjang fungsi serta aktivitas di dalamnya.

§ Kondisi

Kondisi suatu sarana lingkungan akan sangat menentukan terhadapa kualitas yang ada. Di mana dengan kondisi sarana yang baik akan menunjang kenyamanan, keamanan, dan kemudahan dalam menggunakan ruang public.

Sedangkan kualitas non fisik dapat dilihat melalui beberapa criteria, antara lain yaitu :

§ Kenyamanan ( comfort )

Yaitu ruang terbuka harus memiliki lingkungan yang nyaman serta terbebas dari gangguan aktifitas di sekitarnya.

§ Keamanan dan keselamatan ( safety and security )

Yaitu terjamin keamanan dan keselamatan dari berbagai gangguan ( aktifitas lalu-lintas, kriminalitas, dan lain-lain.

§ Kemudahan ( accessibility )

Yaitu kemudahan memperoleh pelayanan dan kemudahan akses transportasi untuk menuju ruang public tersebut.

Seni taman sebagai bagian dari Arsitektur ialah suatu bagian dari bidang seni yang berorientasi pada benda-benda hidup yang mempunyai evolusi yang tak henti-hentinya. Arsitektur Lansekap adalah perpaduan antara pengetahuan arsitektur dan perencanaan yang tidak hanya berbentuk gerombol penghijauan tapi juga meliputi pengerjaan konture, pembentukan kolam air, perencanaan jalan-jalan, menciptakan kerja antara benda hidup dan benda mati serta banyak lagi.

RUANG TERBUKA HIJAU

Contact: Mendai_get@ymail.com

Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan yang tipikal, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi sehingga menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat. Jumlah penduduk perkotaan yang tinggi dan terus meningkat dari waktu ke

waktu tersebut akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota,

sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus, terutama yang

terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang terbuka hijau

publik (open spaces) di perkotaan. Lingkungan perkotaan hanya berkembang secara ekonomi, namun

menurun secara ekologi. Padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya

dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan.

Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik tersebut, baik berupa ruang terbuka hijau

(RTH) dan ruang terbuka non-hijau, telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan

seperti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi udara dan meningkatnya kerawanan

sosial (kriminalitas, tawuran antar warga), serta menurunnya produktivitas masyarakat akibat stress dan

yang jelas berdampak kepada pengembangan wilayah kota tersebut.

Ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan ruang kota yang berfungsi

sebagai kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota,

kawasan hijau kegiatan olahraga kawasan hijau dan kawasan hijau pekarangan.Ruang terbuka hijau

adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun

dalam bentuk area memanjang/jalur. Pemanfatan ruang terbuka hijau lebih bersifat pengisian hijau

tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian,

pertamanan, perkebunan dan sebagainya.

Dalam konteks pembangunan wilayah perkotaan, pengembangan infrastruktur juga harus

mengedepankan aspek kelestarian lingkungan dan secara bersamaan memperhatikan aspek ekonomi,

sosial dan budaya yang ada. Sehingga pembangunan infrastruktur yang ada tidak memberikan dampak

negatif kepada lingkungan maupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Secara ekologis dan planologis,

RTH dapat berfungsi sebagai infrastruktur hijau yang turut membentuk ruang-ruang kota yang

harmonis untuk memenuhi kebutuhan ekologis dan keindahan kota maupun sebagai pembatas ruang

secara planologis.

Ruang Terbuka Hijau dapat meningkatkan stabilitas ekonomi masyarakat dengan cara menarik minat

wisatawan dan peluang-peluang bisnis lainnya, orang-orang akan menikmati kehidupan dan berbelanja

dengan waktu yang lebih lama di sepanjang jalur hijau, kantor-kantor dan apartemen di areal yang

berpohon akan disewakan serta banyak orang yang akan menginap dengan harga yang lebih tinggi dan

1 biropembangunan.acehprov.go.id

jangka waktu yang lama, kegiatan dilakukan pada perkantoran yang mempunyai banyak pepohonan

akan memberikan produktifitas yang tinggi kepada para pekerja (Forest Service Publications, 2003.

Trees Increase Economic Stability, 2003).

Ruang terbuka hijau, mempunyai mamfaat keseimbangan alam terhadap struktur kota. Ruang terbuka

hijau janganlah dianggap sebagai lahan yang tidak efisien, atau tanah cadangan untuk pembangunan

kota, atau sekedar program keindahan. Ruang terbuka hijau mempunyai tujuan dan mamfaat yang besar

bagi keseimbangan, kelangsungan, kesehatan, kenyamanan, kelestarian, dan peningkatan kualitas

lingkungan itu sendiri (Hakim dan Utomo, 2004 ).

Pembangunan ruang-ruang terbuka hijau kota sebagai ruang interaksi warga kota berupa alun-alun,

taman kota, taman lingkungan, dan lapangan sepak bola yang dapat difungsikan untuk menampung

kegiatan penyelamatan saat terjadi gempa bumi, untuk sholat berjamaah, latihan manasik haji, perayaan

Israj Miraj, Maulid Nabi, festival seni budaya Aceh, dll. Taman-taman kota akan menyediakan ruangruang

sunyi, tempat warga kota khususnya yang lanjut usia untuk merenung, berdoa dan berdzikir..

Taman makam menjadi bagian keindahan kehidupan kota dan tempat wisata ziarah spiritual dan

religius. Taman Memorial Tsunami: Situs-situs cagar tsunami akan dirancang untuk menjadi lokasi

yang sesuai bagi warga kota untuk berziarah, memahami pengertian tsunami lebih baik, menjadi pintu

untuk memuliakan Allah SWT, mengagumi karyaNYA, dan bersukur atas nikmat yang diterimanya.

Pohon adalah simbol kehidupan. Penanaman pohon-pohon besar peneduh jalan dan taman secara

teratur memberikan keteduhan kota dan jiwa warga kota ( PP RI No 30, 2005 ).

Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah

perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung

manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu

keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot

kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi :

(a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan

(b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga,

pemakaman, )

Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi

a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan

b) bentuk RTH jalur (koridor, linear),

Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi

a) RTH kawasan perdagangan,

b) RTH kawasan perindustrian,

c) RTH kawasan permukiman,

d) RTH kawasan pertanian,

e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah.

Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi

a) RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh

2 biropembangunan.acehprov.go.id

pemerintah (pusat, daerah), dan

b) RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat.

  • Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan yang rusak

adalah dengan pembangunan ruang terbuka hijau kota yang mampu memperbaiki keseimbangan

ekosistem kota. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara membangun ruang terbuka hijau yang memiliki

beranekaragam manfaat. Manfaat ruang terbuka hijau diantaranya adalah sebagai berikut :

o Identitas Kota

Jenis tanaman dapat dijadikan simbol atau lambang suatu kota yang dapat dikoleksi pada areal RTH.

Propinsi Sumatra Barat misalnya, flora yang dikembangkan untuk tujuan tersebut di atas adalah Enau

(Arenga pinnata) dengan alasan pohon tersebut serba guna dan istilah pagar-ruyung menyiratkan

makna pagar enau. Jenis pilihan lainnya adalah kayu manis (Cinnamomum burmanii), karena

potensinya besar dan banyak diekspor dari daerah ini (Fandeli, 2004).

o Nilai Estetika

Komposisi vegetasi dengan strata yang bervariasi di lingkungan kota akan menambah nilai keindahan

kota tersebut. Bentuk tajuk yang bervariasi dengan penempatan (pengaturan tata ruang) yang sesuai

akan memberi kesan keindahan tersendiri. Tajuk pohon juga berfungsi untuk memberi kesan lembut

pada bangunan di perkotaan yang cenderung bersifat kaku. Suatu studi yang dilakukan atas keberadaan

RTH terhadap nilai estetika adalah bahwa masyarakat bersedia untuk membayar keberadaan RTH

karena memberikan rasa keindahan dan kenyamanan (Tyrväinen, 1998).

o Penyerap Karbondioksida (CO2)

RTH merupakan penyerap gas karbon dioksida yang cukup penting, selain dari fito-plankton, ganggang

dan rumput laut di samudera. Dengan berkurangnya kemampuan hutan dalam menyerap gas ini sebagai

akibat menyusutnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun

RTH untuk membantu mengatasi penurunan fungsi RTH tersebut. Jenis tanaman yang baik sebagai

penyerap gas Karbondioksida (CO2) dan penghasil oksigen adalah damar (Agathis alba), daun kupukupu

(Bauhinia purpurea), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis), dan

beringin (Ficus benjamina). Penyerapan karbon dioksida oleh RTH dengan jumlah 10.000 pohon

berumur 16-20 tahun mampu mengurangi karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun (Simpson and

McPherson, 1999).

o Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan mengurangi tingkat erosi,

menurunkan aliran permukaan dan mempertahankan kondisi air tanah. Pada musim hujan laju aliran

permukaan dapat dikendalikan oleh penutupan vegetasi yang rapat, sedangkan pada musim kemarau

3 biropembangunan.acehprov.go.id

potensi air tanah yang tersedia bisa memberikan manfaat bagi kehidupan di perkotaan. RTH dengan

luas minimal setengah hektar mampu menahan aliran permukaan akibat hujan dan meresapkan air ke

dalam tanah sejumlah 10.219 m3 setiap tahun (Urban Forest Research, 2002).

o Penahan Angin

RTH berfungsi sebagai penahan angin yang mampu mengurangi kecepatan angin 75 – 80 % ( Hakim

dan utomo, 2004 ). Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain RTH untuk menahan

angin adalah sebagai berikut :

  • · Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman yang memiliki dahan yang kuat.

a. Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan kecepatan sedang

b. Memiliki jenis perakaran dalam.

c. Memiliki kerapatan yang cukup (50 – 60 %).

d. Tinggi dan lebar jalur hutan kota cukup besar, sehingga dapat melindungi wilayah yang

diinginkan.

  • · Penanaman pohon yang selalu hijau sepanjang tahun berguna sebagai penahan angin pada

musim dingin, sehingga pada akhirnya dapat menghemat energi sampai dengan 50 persen

energi yang digunakan untuk penghangat ruangan pada pemakaian sebuah rumah. Pada musim

panas pohon-pohon akan menahan sinar matahari dan memberikan kesejukan di dalam ruangan

(Forest Service Publications. Trees save energy, 2003).

o Ameliorasi Iklim

RTH dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan untuk menurunkan suhu pada waktu siang

hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi

balik (reradiasi) dari bumi. Jumlah pantulan radiasi matahari suatu RTH sangat dipengaruhi oleh

panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar matahari, keadaan

cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman daripada daerah yang tidak

ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim mikro lain yang diatur oleh RTH adalah kelembaban.

Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island) akibat pantulan

panas matahari yang berasal dari gedung-gedung, aspal dan baja. Daerah ini akan menghasilkan suhu

udara 3-10 derajat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Penanaman pohon pada suatu

areal akan mengurangi temperature atmosfer pada wilayah yang panas tersebut (Forest Service

Publications, 2003. Trees Modify Local Climate, 2003).

o Habitat Hidupan Liar

RTH bisa berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hidupan liar dengan keanekaragaman hayati yang

cukup tinggi. Hutan kota dapat menciptakan lingkungan alami dan keanekaragaman tumbuhan dapat

menciptakan ekosistem lokal yang akan menyediakan tempat dan makanan untuk burung dan binatang

lainnya (Forest Service Publications, 2003. Trees Reduce Noise Pollution and Create Wildlife and

Plant Diversity, 2003).

4 biropembangunan.acehprov.go.id

  • Ruang Terbuka Hijau Sebagai Acuan Perencanaan Tata Ruang.

Pada dasarnya, penataan ruang bertujuan agar pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan,

pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budi daya dapat terlaksana, dan pemanfaatan

ruang yang berkualitas dapat tercapai. Upaya penataan ruang juga dilakukan untuk menciptakan

pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya.

Pengembangan tata ruang ditujukan untuk memberikan hasil yang sebesar besarnya dan bermanfaat

bagi kesejahteraan masyarakat, pendekatan yang akan dikembangkan mencakup dua hal :

¨ Pengaturan pemanfaatan ruang yang adil untuk masyarakat

¨ Memelihara kualitas ruang agar lestari dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya.

Di dalam Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 pasal 29 ayat (2) dijelaskan bahwa

proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem

kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikrolimat, maupun sistem ekologis lain, yang

selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus

dapat meningkatkan nilai estitika kota. Untuk lebih meningkatkan fungsi dan proporsi ruang terbuka

hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan swasta didorong untuk menanam tumbuhan di atas

bangunan gedung miliknya.

Tujuan perencanaan tata ruang wilayah kota adalah mewujudkan rencana tata ruang kota yang

berkualitas, serasi dan optimal, sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan daerah serta sesuai dengan

kebutuhan pembangunan dan kemampuan daya dukung lingkungan. Fungsi rencana tata ruang wilayah

kota adalah:

1. Sebagai penjabaran dari rencana tata ruang provinsi dan kebijakan regional tata ruang lainnya.

2. Sebagai matra ruang dari pembangunan daerah.

3. Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah kota.

4. Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkembangan antar wilayah kota dan antar

kawasan serta keserasian antar sektor.

5. Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan swasta.

6. Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan.

7. Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang

8. Sebagai dasar pemberian izin lokasi pembangunan skala besar.

Lebih jauh, rencana tata ruang kota dipergunakan sebagai acuan dalam penyusunan maupun

pelaksanaan program pembangunan di wilayah kota yang bersangkutan:

• Bagi departemen/instansi pusat dan pemerintah provinsi, digunakan dalam penyusunan

program-program dan proyek-proyek pembangunan lima tahunan dan tahunan secara

terkoordinasi dan terintegrasi.

• Bagi pemerintah kota, digunakan dalam penyusunan program-program dan proyek-proyek

pembangunan lima tahunan dan tahunan di wilayah kota yang bersangkutan.

5 biropembangunan.acehprov.go.id

• Bagi pemerintah kota dalam penetapan investasi yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat dan

swasta, digunakan sebagai acuan dalam perijinan pemanfaatan ruang serta pelaksanaan kegiatan

pembangunan di wilayah kota.

Materi dalam rencana tata ruang kota memuat 4 (empat) bagian utama yaitu:

Tujuan pemanfaatan ruang wilayah kota, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

pertahanan kemanan, yang meliputi:

a. Tujuan pemanfaatan ruang

b. Konsep pembangunan tata ruang kota

c. Strategi pembangunan tata ruang kota

Rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kota, yang meliputi:

a. Rencana struktur tata ruang, yang berfungsi memberi arahan kerangka pengembangan wilayah,

yaitu:

- Rencana sistem kegiatan pembangunan

- Rencana sistem permukiman perdesaan dan perkotaan

- Rencana sistem prasarana wilayah

b. Rencana pola pemanfaatan ruang, yang ditujukan sebagai penyebaran kegiatan budidaya dan

perlindungan.

Rencana umum tata ruang wilayah, meliputi:

a. Rencana pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya.

b. Rencana pengelolaan kawasan perkotaan, perdesaan dan kawasan tertentu.

c. Rencana pembangunan kawasan yang diprioritaskan.

d. Rencana pengaturan penguasaan dan pemanfaatan serta penggunaan ruang wilayah.

  • Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota

Pengendalian merupakan upaya-upaya pengawasan, pelaporan, evaluasi dan penertiban terhadap

pengelolaan, penanganan dan intervensi sebagai implementasi dari strategi pengembangan tata ruang

dan penatagunaan sumber daya alam, agar kegiatan pembangunan yang memanfaatkan ruang sesuai

dengan perwujudan rencana tata ruang kota yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rencana tata ruang merupakan suatu rencana yang mengikat semua

pihak, yang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah perencanaan. Rencana tata ruang

dengan demikian merupakan keputusan publik yang mengatur alokasi ruang, dimana masyarakat,

swasta dan pemerintah perlu mengacunya. Oleh karena itu, suatu rencana tata ruang akan dimanfaatkan

untuk diwujudkan apabila dalam perencanaannya sesuai dan tidak bertentangan dengan kehendak

seluruh pemanfaatnya serta karakteristik dan kondisi wilayah perencanaannya, sehingga dapat

digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang bagi para pemanfaatnya.

6 biropembangunan.acehprov.go.id

Pendekatan Psikologi Arsitektur dalam Perancangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota-Kota Multikultural

23012010

(Diformat ulang dari Makalah untuk Seminar Nasional UUPR Jurusan PWK Universitas Brawijaya Malang, 29 April 2009)

Yulia Eka Putrie & Nunik Junara

Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang dan kurangnya rasa memiliki dari masyarakat pendatang terhadap kota tersebut. Citra kota pun terdegradasi akibat kenyataan ini. Karenanya, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural. Dengan pendekatan psikologi arsitektur, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah. Pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Masyarakat pendatang berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya pada RTH yang disediakan. Seluruh penduduk pun dapat menyaksikan bahwa para pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota. Taman-taman itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Dengan demikian, citra kota punmeningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.

Pendahuluan

Perkembangan setiap kota, sejak awal peradaban manusia hingga abad-abad terakhir, selalu diwarnai oleh pergerakan dan interaksi penduduknya dengan penduduk kota lainnya. Pergerakan dan interaksi ini dapat hanya berupa pergerakan sementara, namun dapat pula berupa perpindahan (migrasi) penduduk dari satu kota ke kota lain. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, seiring dengan berkembangnya kebutuhan dan keinginan manusia di dalam setiap peradaban. Suatu kota yang pada awalnya secara kuantitas didominasi oleh etnis tertentu, dapat menjadi kota multikultural karena banyaknya pendatang dari berbagai daerah yang menetap di kota itu. Beberapa kota di Indonesia yang dapat dijadikan contoh kota multikultural ini adalah Jakarta, Surabaya, Palembang, Samarinda, Yogyakarta, Malang, Makassar dan Balikpapan.

Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural inilah, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang. Meningkatnya jumlah pendatang seringkali tidak terprediksi sebelumnya oleh pemerintah kota yang bersangkutan. Hal ini mengakibatkan daya tampung kota yang terbatas terpaksa diperbesar dengan membuka daerah-daerah baru di sekeliling kota, yang sebenarnya merupakan daerah penyangga ekosistem kota dari bahaya banjir, peningkatan suhu dan polusi. Besarnya tekanan ekonomi akibat persaingan warga kota dengan pendatang juga kerap menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan ini diabaikan. Pusat kota kian padat dengan aktivitas ekonomi, sehingga fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada pun diselewengkan menjadi tempat transaksi jual-beli dilakukan. Tingginya laju pertumbuhan penduduk pada berbagai kawasan menyebabkan munculnya masalah umum yang menyertai pertumbuhan perkotaan yang amat cepat, seperti pengangguran, perumahan yang tak layak huni, kebakaran, menularnya penyakit, sanitasi yang buruk, drainase yang tersumbat, pencemaran air dan udara, sampah yang menumpuk, kerusakan lingkungan, sistem transportasi yang tidak manusiawi, dan sebagainya (Dyayadi, 2008).

Di balik fenomena-fenomena fisik yang dipaparkan di atas, ternyata terdapat pula banyak faktor nonfisik, di antaranya faktor psikologis, yang menyebabkan permasalahan lingkungan hidup di kota multikultural kian kompleks. Permasalahan yang tidak kasat mata, seperti kurangnya rasa memiliki oleh warga pendatang akan kota yang mereka tinggali, merupakan salah satu faktor utama bertambah parahnya permasalahan lingkungan hidup ini. Asas untung-rugi ekonomi yang sering dijadikan pertimbangan seseorang untuk menetap di suatu daerah menjadikan tidak terciptanya ikatan emosional mereka dengan kota itu, dibandingkan dengan ikatan emosional mereka dengan kota asal atau kota kelahiran mereka.

Lebih jauh, kesalahan dalam penanganan masalah-masalah nonfisik ini dapat meniadakan hubungan emosional antara para penduduk pendatang dengan kota yang mereka tinggali. Penanganan yang refresif seringkali tidak menghasilkan perbaikan pada tataran pemikiran. Kecenderungan manusia untuk bertindak defensif ketika diperlakukan secara represif telah banyak diperlihatkan di berbagai belahan dunia. Dyayadi dalam bukunya, “Tata Kota menurut Islam”, menyatakan pula bahwa upaya mengatasi urbanisasi dengan pendekatan konvensional hanya melahirkan kegagalan, karena birokrasi tidak mampu memahami kebutuhan, motif dan ketegaran kaum migran (Dyayadi, 2008). Pada akhirnya, perbaikan pada tataran fisik pun tidak dapat bertahan lama, karena tidak dibarengi perbaikan pada tataran pemikiran dan cara pandang.

Secara keseluruhan, seluruh permasalahan lingkungan hidup di atas akan berkaitan pula dengan citra kota yang bersangkutan, baik citra internal maupun citra eksternal. Secara internal, tidak ditemui keharmonisan dalam kehidupan penduduk di dalamnya, karena tidak adanya keterikatan emosional yang baik antara mereka dengan kota yang mereka tinggali. Kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya sederhana namun sebenarnya merusak dapat diamati dari kebiasaan membuang sampah sembarangan di jalan ataupun di sungai. Secara eksternal, citra kota mengalami penurunan, baik di mata para wisatawan atau pengunjung, maupun di mata penduduk kota lain. Terdegradasinya citra kota ini pada gilirannya akan berakibat pula pada penurunan tingkat ekonomi kota yang bersangkutan. Inilah lingkaran setan yang harus diputus, agar dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan di kota multikultural.

Untuk itu, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Pertimbangan-pertimbangan psikologis ini meliputi perilaku keruangan (territoriality) dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic human needs). Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata ini justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan psikologi arsitektur dapat dijadikan salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural.

Pembahasan

Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa poin penting dalam aspek psikologis manusia yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup yang dihadapi oleh kota-kota multikultural. Dari teori-teori teritorialitas, diketahui bahwa personalisasi pada suatu teritori, walaupun teritori itu bukan hak milik secara mutlak, akan memberikan kesempatan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan mereka akan citra diri dan pengakuan dari orang lain. Sementara itu, dari paparan tentang kebutuhan dasar manusia diketahui bahwa secara umum, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis berupa kebutuhan fisiologis (physiological needs), keamanan (safety), rasa memiliki (belongingness), penghargaan (esteem), dan aktualisasi-diri (self-actualization). Tiga di antaranya, yaitu rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri merupakan faktor yang sangat signifikan dalam membentuk kesadaran manusia secara persuasif.

Melalui pemahaman akan pentingnya pendekatan psikologi arsitektur ini, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah, dibandingkan bertindak sebagai pengatur dan pemaksa. Peraturan-peraturan pemerintah yang sebagian besar bersifat fisikal harus didukung pula dengan tindakan-tindakan persuasif berdasarkan pemahaman akan kondisi psikologis para penduduknya. Telah jamak terjadi di berbagai negara, tindakan-tindakan anarkis dan defensif dari penduduk sebagai buah dari tindakan-tindakan represif pemerintahnya. Buruknya hubungan antara pemerintah dengan penduduk ini pada gilirannya mengakibatkan buruknya citra kota yang bersangkutan di mata para penduduk kota itu sendiri. Pada akhirnya, setiap peraturan yang dikeluarkan hanya dituruti dalam pengawasan ketat dan keadaan terpaksa. Ketika pengawasan itu berkurang, peraturan itu pun tidak lagi dituruti oleh masyarakat, baik pendatang maupun penduduk asli kota itu.

Sebaliknya, dengan pendekatan yang persuasif, pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Pengetahuan-pengetahuan akan pentingnya teritorialitas, personalisasi dan kebutuhan psikologis berupa rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri, seperti dipaparkan di atas, semestinya merupakan bekal yang sangat berharga dalam pendekatan yang persuasif ini. Ketika para penduduk merasa cukup dihargai, didengarkan dan diberi kesempatan untuk turut memperbaiki kota yang mereka tinggali, maka rasa memiliki itu akan muncul dengan sendirinya dan kesadaran untuk memelihara dan menjaga lingkungan kotanya akan tertanam lebih kuat di dalam diri mereka.

Salah satu contoh aplikasi konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Pemerintah dapat bertindak selaku pencetus diadakannya lomba semacam ini, sekaligus sebagai pengatur RTH yang tersedia. Masyarakat asli dan pendatang dapat berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif yang dibawa dari daerah asal mereka pada RTH yang disediakan. Tentu saja, pemerintah harus tetap melakukan pengawasan agar segi-segi positif itu tidak malah menyinggung atau merendahkan daerah lainnya.

Salah satu contoh kota yang pernah memberi kesempatan kepada paguyuban-paguyuban masyarakat pendatang untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya adalah kota Balikpapan. Kota yang didominasi oleh para pendatang ini membagi satu lokasi RTH menjadi beberapa kavling yang berdampingan sebagai area kreativitas para pendatang. Peran pemerintah ini pada gilirannya mampu mengangkat citra kota Balikpapan sesuai dengan slogannya, yaitu kota yang bersih, indah, aman dan nyaman.

Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Hal ini pada gilirannya dapat pula berimbas pada kondusifnya situasi keamanan di kota multikultural itu. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan kondusifnya kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial ini, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.

Di balik semua itu, tentu pada konsep dan pendekatan ini terdapat kekurangan-kekurangan yang harus pula dipaparkan. Namun demikian, pemaparan kekurangan-kekurangan dari konsep dan pendekatan ini diharapkan dapat memacu lahirnya konsep-konsep dan pendekatan-pendekatan yang jauh lebih baik di kemudian hari. Selain itu, kekurangan-kekurangan itu diyakini bukan tanpa jalan keluar. Pemaparan ini dimaksudkan pula sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mencari jalan keluar dari kekurangan-kekurangan itu sendiri.

Kekurangan pertama adalah kemungkinan berlebihnya keinginan dari masing-masing penduduk pendatang untuk menonjolkan kelebihan dirinya sendiri. Hal ini dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara para penduduk pendatang itu. Walaupun begitu, adanya pendampingan yang intensif dari pemerintah dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan semacam itu.

Kekurangan kedua adalah adanya kemungkinan berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung diadakannya lomba taman ini. Ketidakmampuan pemerintah untuk dapat mendorong kreativitas mereka dalam kondisi yang terbatas itu dapat berimbas pada makin inferiornya mereka terhadap kelompok masyarakat pendatang lainnya. Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat mendorong kreativitas itu dengan motivasi-motivasi yang tepat, serta dapat pula memberikan bantuan dana kepada setiap paguyuban peserta lomba.

Ketiga, adanya kemungkinan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba. Hal ini, salah satunya dapat diatasi dengan pengalihan pemeliharaan kepada instansi terkait yang memang bertanggung jawab dalam pemeliharaan taman dan ruang terbuka hijau di kota itu.

Selain salah satu contoh penerapan pengetahuan psikologi arsitektur di atas, tentu masih banyak lagi alternatif perancangan RTH dengan pendekatan ini. Hal ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing pemerintah kota, sesuai dengan karakteristik dan potensi yang ada di masing-masing wilayah.

Penutup

Dari paparan panjang di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai aplikasi pendekatan psikologi arsitektur dalam konsep perancangan ruang terbuka hijau (RTH), khususnya pada kota-kota multikultural, sebagai berikut:

  1. Pentingnya pengetahuan dan pemahaman akan adanya aspek-aspek psikologis yang turut menentukan keberhasilan penanganan masalah kependudukan dan lingkungan hidup di kota-kota multikultural.
  2. Aspek-aspek psikologis yang mempengaruhi itu antara lain adalah teritorialitas, personalisasi, kebutuhan akan rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri.
  3. Pendekatan psikologi arsitektur berdasarkan aspek-aspek psikologis di atas terutama ditekankan pada peran pemerintah sebagai pendorong dan pengarah kepada partisipasi masyarakat pendatang dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup dan kependudukan di kota yang bersangkutan.
  4. Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali.
  5. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
  6. Kekurangan dari konsep ini adalah adanya kemungkinan-kemungkinan persaingan yang tidak sehat akibat keinginan yang berlebih untuk menonjolkan diri, berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung, dan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba.
  7. Pengembangan dari pendekatan psikologi arsitektur dalam perancangan RTH di masing-masing kota multikultural dapat dilakukan oleh pemerintah kota berdasarkan karakteristik dan potensi masing-masing wilayah.

Referensi

Dyayadi. 2008. Tata Kota menurut Islam: Konsep Pembangunan Kota yang Ramah Lingkungan, Estetik dan Berbasis Sosial. Jakarta: Khalifa

Chapman, Alan. 1995. Maslow’s Hierarchy of Needs. diakses dari http://www.businessballs.com/maslow.htm pada tanggal 5 Januari 2009

Laurens, Joyce Marcella. 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasindo

Lewis, Julie, Perry Walker & Catherine Unsworth (eds.). 1998. Participation Works! 21 Techniques of Community Participation for the 21st Century. London: New Economics Fondation

Stea, David. 1984. Space, Territory and Human Movements. dalam Wilson, Forrest, A Graphic Survey of Perception and Behaviour for the Design Professions. New York: Van Nostrand Reinhold

Minggu, 03 Januari 2010