Senin, 17 Mei 2010

Kepadatan dan Kesesakan
Kepadatan dan kesesakan adalah dua dari beberapa konsep gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya. Kedua konsep ini saling berhubungan dan berkaitan satu sama lainnya, sehingga dapat digabungkan ke dalam satu bab tersendiri. Adapun materi-materi yang akan dibahas di dalamnya meliputi:
Kepadatan, meliputi:
A. Pengertian Kepadatan
B. Kategori Kepadatan
C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi
D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya
Kesesakan, meliputi:
A. Pengertian Kesesakan
B. Teori-teori Kesesakan
a. Teori Informasi Berlebih
b. Teori Psikologi Ekologi
c. Teori Kendala Perilaku
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Faktor Personal
Faktor Sosial
Faktor Fisik
D. Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku
KEPADATAN
A. Pengertian Kepadatan
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wrightsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling,1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992)
Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun ini bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus (dalam Worchel dan Cooper, 1983). Secara terinci hasil penelitian Calhoun (dalam Setiadi, 1991) menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah.
Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negatif terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.
Selain itu pengamatan yang dilakukan oleh Dubos (dalam Setiadi, 1991) terhadap jenis tikus Norwegia, menunjukkan bahwa apabila jumlah kelompok telah terlalu besar (over populated), maka terjadi penyimpangan perilaku tikus-tikus itu dengan menceburkan diri ke laut. Hal ini diakibatkan oleh tidak berfungsinya otak secara wajar karena kepadatan tinggi tersebut. Tentu saja hasil penelitian terhadap hewan ini tidak dapat diterapkan pada manusia secara langsung karena manusia mempunyai akal dan norma dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, untuk penelitian kepadatan pada manusia cenderung didasarkan pada data sekunder yaitu data-data yang sudah ada, dari data-data tersebut diamati gejala-gejala yang sering muncul dalam masyarakat.
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal- hal yang negatif akibat dari kepadatan.
- Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
- Kedua, peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva
linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.
- Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.
Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi. Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating. 1979; Stokols dalam Holahan, 1982).
Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1979) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
B. Kategori Kepadatan
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain.
Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur-unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit ramah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur-unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan kedalambeberapakategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah.individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.Altman(1975)membagikepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar; dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian padasetiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapatdikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah. Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu:
(1) Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan
dalam yang rendah;
(2) Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan
kepadatan luar rendah; dan
(3) Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam
rendah sedangkan kepadatan luar tinggi;
(4) Perkampungan Kota yang ditandai dengan
tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.
C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi
Pada bagian sebelumnya telah disajikan secara singkat beberapa bahasan mengenai akibat-akibat kepadatan tinggi, terutama pada penelitian pendahuluan pada binatang dan penelitian lanjutan pada manusia. Pada bagian ini akan banyak dibahas akibat-akibat kepadatan tinggi pada manusia dalam penyajian yang lebih lengkap dan sistemastis.
KESESAKAN
A. Pengertian Kesesakan
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah dibahas di bab terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang. MenurutAltman(1975),HeimstradanMcFarling(1978)antara kepadatan dankesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapibukan satu-satunya syaratyangdapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).Baum dan Paulus ( 1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor:
a. karakteristik seting fisik
b. karakteristik seting sosial
c. karakteristik personal
d. kemampuan beradaptasi
Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial {nonsocial crowding) yaitu di mana faktor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial {social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar {molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi
penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler {moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal. Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang daiam suatu hunian rumah,maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya
kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
Besar kecilnya ukuran rumah menentukan besarnya rasio antara penghuni dan tempat {space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar rasio tersebut. Sebaliknya, makin kecil rumah dan makin banyak penghuninya, maka akan semakin kecil rasio tersebut, sehingga akan timbul perasaan sesak {crowding) (Ancok, 1989).
Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Jadi rangsangan berupa hal-hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang di sini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.
Pendapat lain datang dari Kapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.
B. Teori-teori Kesesakan
Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga. model teori, yaitu beban stimulus, kendala perilaku dan teori ekologi (Bell dkk., 1978; Holahan, 1982). Menurut model beban stimulus, kesesakan akan terjadi pada individu yang dikenai terlalu banyak stimulus, sehingga individu tersebut tak mampu lagi memprosesnya. Model kendala perilaku menerangkan bahwa kesesakan terjadi karena adanya kepadatan sedemikian rupa, sehingga individu merasa terhambat untuk melakukan sesuatu. Hambatan ini mengakibatkan individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Terhadap kondisi
tersebut, individu akan melakukan psychological reactance, yaitu suatu bentuk perlawanan terhadap kondisi yang mengancam kebebasan untuk memilih. Bentuk psychological reac-tance tersebut adalah usaha-usaha untuk mendapatkan lagi kebebasan yang hilang, misalnya dengan cara mencari lingkungan baru atau dengan menata kembali lingkungan yang menyesakkan tersebut. Sedangkan pembahasan teori ekologi membahas kesesakan dari
sudut proses sosial.
Teori Beban Stimulus. Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating ( 1979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang
menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, sepati :
(a) kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan
(b) jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
(c) suatu percakapan yang tidak dikehendaki
(d) terlalu banyak mitra interaksi
(e) interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama
Individu akan melakukan penyaringan atau pemilahan terhadap informasi yang berlebihan tersebut. Stimulus yang tidak berhubungan langsung dengan kepentingannya akan diabaikan. Stimulus yang penting dan bermanfaat bagi dirinyalah yang akan diperhatikan (Bell dkk., 1978; Holahan, 1982), Hal tersebut disarankan oleh Milgram (dalam Perlman dan Cosby,1983) bagi penduduk kota untuk melakukan beberapa strategi untuk menyaring informasi yang mereka terima berlebih. Strategi pertama adalah membuat perbedaan-perbedaan antara informasi yang mendapat prioritas tinggi dengan rendah dan hanya akan memperhatikan informasi yang mendapat prioritas tinggi.-Strategi kedua adalah membatasi waktu yang digunakan untuk memperhatikan tiap-tiap informasi bahkan menolak informasi yang dating bersama-sama. Dengan strategi ini diharapkan intensi informasi yang datang akan berkurang. Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model
ekologi pada manusia.
Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbale balik antara orang dengan lingkungannya.
Kedua, unit analisisnya adalah kelompok social dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting.
Ketiga,menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.Wicker ( 1976) mengemukakan teorinya tentang manning. Teori ini berdiri atas pandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana hal itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.
Analisis terhadap seting meliputi :
1) Maintenance Minimum, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung. Agar pembicaraan menjadi lebih jelas, akan digunakan kasus pada sebuah rumah sebagai contoh suatu seting. Dalam hal ini, yang dinamakan maintenance setting adalah jumlah penghuni rumah minimum agar suatu ruang tidur ukuran 4x3 meter bisa dipakai oleh anak-anak supaya tidak terlalu sesak dan tidak terlalu longgar.
2) Capacity, adalah jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh seting tersebut (jumlah orang maksimum yang dapat duduk di ruang tamu bila sedang dilaksanakan hajatan).
3) Applicant, adalah jumlah penghuni yang mengambil bagian- dalam suatu seting. Applicant dalam seting rumah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
Performer, yaitu jumlah orang yang memegang peran utama, dalam hal ini suami
dan isteri. Non-performer, yaitu jumlah orang yang terlibat dalam peran-peran sekunder, dalam hal ini anak-anak atau orang lain dalam keluarga. Besm\y&maintenancèminimumanteTaperformerdannon-performerùdak selalu sama. Dalam seting tertentu, jumlah performer lebih sedikit daripada jumlah non-performer, dalam seting lain mungkin sebaliknya.
Jika applicant lebih sedikit daripada maintenance minimum, berarti jumlah warga yang dibutuhkan untuk terjadinya suatu aktivitas tidak mencukupi. Keadaan ini disebut Pada dasarnya kesesakan akan terjadi bila sistem regulasi privasi seseorang tidak berjalan secara efektif sehingga lebih banyak kontak sosial yang tidak diinginkan. Akan tetapi sebenarnya kesesakan juga dapat terjadi meskipun seseorang berhasil mencapai tingkat privasi yang diinginkan. Kesesakan timbul karena ada usaha-usaha yang terlalu banyak, yang membutuhkan energi fisik maupun psikis untuk mengatur tingkat interaksi yang diinginkan.
Menurut Altman kondisi kesesakan yang ekstrim akan timbul bila faktor-faktor di bawah ini muncul secara simultan:
1 ). Kondisi-kondisi pencetus, terdiri dari tiga faktor:
a) Faktor-faktor situasional, seperti kepadatan ruang yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, dengan sumber-sumber pilihan perilaku yang terbatas.
b) Faktor-faktor personal, seperti kurangnya kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam situasi yang padat dan rendahnya keinginan berinteraksi dengan orang lain yang didasarkan pada latar belakang pribadi, suasana hati, dan sebagainya.
c) Kondisi interpersonal, seperti gangguan sosial, ketidakmampuan memperoleh
sumber-sumber kebutuhan, dan gangguan-gangguan lainnya.
2). Serangkaian faktor-faktor organismik dan psikologis seperti stres, kekacauan pikiran, dan perasaan kurang enak badan.
3). Respon-respon pengatasan, yang meliputi beberapa perilaku verbal dan non verbal yang tidak efektif dalam mengurangi stres atau dalam mencapai interaksi yang diinginkan dalam jangka waktu yang panjang atau lama.
Jadi kunci utama dalam kerangka pikiran yang dikemukakan oleh Altman adalah bahwa kesesakan yang ekstrim akan timbul bila keseluruhan faktor-faktor tersebut di atas muncul secara bersama-sama atau simultan. Misalnya seseorang yang sedang berada dalam situasi sosial yang padat, selama jangka waktu yang lama, tidak menginginkan interaksi, dan memiliki perasaan stres yang diasosiasikan dengan berbagai macam perilaku pengatasan yang tidak berjalan dengan baik, atau pengatasan tersebut membutuhkan terlalu banyak
energi. Oleh karena faktor-faktor tersebut akan timbul dalam jumlah yang berbeda-beda,maka akan timbul efek kesesakan yang berbeda-beda tingkatannya.
Kesesakan juga dapat timbul bila variabel-variabel tertentu tidak ada, seperti misalnya tidak ada kepadatan. Contohnya jika ada dua orang saja dalam suatu ruangan yang luas, yang satu mengganggu yang lain, dan orang yang diganggu tersebut tidak mampu mengusir orang yang mengganggu itu, sehingga akan timbul stres yang dapat mengurangi efektivitas respon-respon pengatasan, maka kesesakan akan timbul. Altman ( 1975) membuat model kesesakan tersebut.
Model tersebut menerangkan bahwa dap individu mempunyai tingkat privasi yang berbeda-beda. Privasi yang diinginkan seseorang terbentuk dari kombinasi faktor-faktor personal, interpersonal, dan situasional. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut disebut dengan situation definition.
Untuk mendapatkan interaksi yang diinginkan individu menggunakan bermacam-
macam mekanisme penyesuaian diri (coping), antara lain verbal, paraverbal, non verbal, ruang personal, dan perilaku teritori.
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu: personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
Faktor Personal. Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.
a). Kontrol pribadi dan locus of control
Seligman dan kawan-kawan (dalam Worchel dan Cooper, 1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai control terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol pribadi di dalamnya. Penelitian yang dilakukan di asrama mahasiswa mendapatkan kesimpulan bahwa hilangnya pengaturan kontrol pada tempat tinggal yang padat ditandai dengan adanya rasa sesak. Kelompok mahasiswa penghuni asrama yang lebih sempit mulai merasakan tempat tinggal mereka lebih sesak setelah kehilangan kontrol atas pengalaman-pengalaman sosial yang terjadi disbanding kelompok mahasiswa penghuni asrama yang lebih luas (Baum, Aiello dan Calesnick, 1978). Individu yang mempunyai locus of control internal, yaitu kecenderungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaan yang ada di dalam dirinyalah yang berpengaruh terhadap kehidupannya, diharapkan dapat mengendalikan kesesakan yang lebih
baik daripada individu yang mempunyai locus of control eksternal (Gifford, 1987)
b). Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan Min (dalam Gifford, 1987), yang mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia.
Sundstrom (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalamkondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mempengaruhi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stres akibat kesesakan yang dialami. Tingkat toleransi akibat adaptasi ini berguna bila individu dihadapkan pada situasi yang baru. Bell dan kawan-kawan (1978) mengatakan bahwa semakin sering atau konstan suatu stimulus muncul, maka akan timbul proses pembiasaan yang bersifat psikologis (adaptasi) dan fisik (habituasi) dalam bentuk respon yang menyebabkan kekuatan stimulus tadi melemah. Karena proses pembiasaan ini berhubungan dengan waktu, maka dalam kaitannya
dengan kesesakan di kawasan tempat tinggal, lamanya individu tinggal di kawasan tersebut akan mempengaruhi perasaan sesaknya.
Menurut Yusuf (1991) keadaan-keadaan kepadatan yang tinggi yang menyebabkan kesesakan justru akan menumbuhkan kreativitas-kreativitas manusia untuk melakukan intervensi sebagai upaya untuk menekan perasaan sesak tersebut. Pada masyarakat Jepang, upaya untuk menekan situasi kesesakan adalah dengan membangun rumah yang ilustratif! yang dindingnya dapat dipisah-pisahkan sesuai dengan kebutuhan sesaat, serta untuk mensejajarkan keadaannya dengan ruang dan wilayah yang tersedia. Pola ini memiliki beberapa kegunaan sesuai dengan kebutuhan sosial penghuninya, seperti untuk makan, tidur, dan rekreasi. Volume dan konfigurasi tata ruang adalah fleksibel, sehingga dapat diubah-ubah sesuai kebutuhan dalam upayanya untuk menekan perasaan sesak.
Bentuk kreativitas bangsa Jepang lain yang merupakan upaya untuk menekan kesesakan dapat dilihat dari kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang sifatnya miniatur.
Peficiptaan bonsai dan suiseki merupakan manifestasi keinginan orang Jepang untuk mengintervensi keadaan yang sesak.
Studi lain dilakukan oleh Anderson (dalam Yusuf, 1991) pada keluarga-keluarga Cina yang tinggal secarakomunal di Malaysia. Keluarga-keluarga ini mempertahankan pemisahan ruang yang bisa dikunjungi dan ruang yang tidak bisa dilihat atau ditempati. Mereka juga memelihara pemisahan keluarga tersebut dengan keluarga lain dalam pengertian terdapat beberapa praktek budaya, termasuk di antaranya larangan (bahkan tabu) untuk memasuki dan
melihat ruang tidur orang lain dan mereka membagikan beberapa papan sebagai dinding untuk memisahkan dapur-dapur yang terdapat dalam dapur komunal tersebut.
c). Jenis Kelamin dan usia
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada pria pengalaman akan kesesakan ini lebih terlihat dibanding wanita karena lebih menunjukkan sikap-sikap reaktif terhadap kondisi tersebut. Sikap reaktif itu tercemin dalam sikap yang lebih agresif, kompetitif dan negatif dalam berinteraksi dengan orang lain (Altman, 1975; Freedman, 1975; Holahan,1982). Sementara itu Dabbs (1977) mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin tidaklah berpengaruh terhadap kesesakan, melainkan lebih dipengaruhi oleh jenis kelamin mitra yang dihadapi.
Menurut Loo (dalam Gove dan Hughes, 1983) dan Holahan (1982) gejala reaktif
terhadap kesesakan juga lebih terlihat pada individu yang usianya lebih muda dibanding yang lebih tua.
Faktor Sosial. Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi di lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut
adalah :
a). Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain. Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) melaporkan bahwa penghuni asrama akan merasa lebih sesak bila terlalu banyak menerima kunjungan orang lain. Penghuni yang menerima kunjungan lebih banyak juga merasa lebih tidak puas dengan ruangan, teman sekamar, dan proses belajar mereka.
b). Formasi koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan social akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekamar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yang disebabkan karena terbentuknya koalisi di satu pihak dan satu orang yang terisolasi di lain pihak (Gifford, 1987).
c). Kualitas hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gifford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.
d). Informasi yang tersedia
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebeium dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).

Kepadatan dan Kesesakan
2 Ciri dari Kepadatan dan Kesesakan :
- Kesesakan adalah persepsi terhadap kepadatan dalam arti jumlah manusia, jadi tidak termasuk yang non-manusia.
o Contoh : Orang yang berada di hutan yang penuh pohon-pohon tidak merasa kesesakan, tetapi orang yang berada dalam kamar mandi/toilet umum yang padat pengunjungnya akan merasakan kesesakan.
- Karena kesesakan adalah persepsi maka sifatnya subyektif.
o Orang yang biasa naik bis yang padat penumpangnya, sudah tidak merasa sesak lagi (density tinggi – crowding rendah).
o Orang yang bisa mengendarai kendaraan pribadi, merasa sesak dalam bis yang setengah kosong ( density rendah – crowding tinggi).
Perbedaan kepadatan dan kesesakan :
a. Kepadatan (density) : kendala kekurangan (bersifat obyektif).
b. Kesesakan (crowding) : respon subyektif terhadap ruang yang sesak.
Kepadatan memang merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya persepsi kesesakan, tetapi bukanlah syarat yang mutlak.
Manusia membedakan kepadatan di dalam rumahnya (Inside density) dan di luar rumahnya (Outside density).
Dari kombinasi 2 jenis kepadatan tersebut diperoleh 4 jenis kepadatan :
1. Kepadatan pedesaan
Kepadatan dalam rumah tinggi, tetapi kepadatan di luar rendah.

2. Kepadatan pinggiran kota (sub urban)
Kepadatan di dalam dan di luar rendah.

3. Kepadatan pemukiman kumuh di kota
Kepadatan di dalam dan di luar tinggi.

4. Kepadatan pemukiman mewah di kota besar
Kepadatan di dalam rumah rendah tetapi di luar tinggi.

Dampak kepadatan dan kesesakan pada manusia
Patologi Sosial
Meningkatnya,
- Kejahatan
- Bunuh diri
- Penyakit jiwa
- Kenakalan remaja
Tingkah laku sosial
- Agresi
- Menarik diri dari lingkungan sosial
- Berkurangnya tingkah laku menolong
- Kecenderungan menjelekkan orang lain
Kinerja
- Hasil dan prestasi kerja menurun
- Suasana hati (mood) cenderung lebih murung
Referensi :
Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Jakarta:Gunadarma,1998.